Donasi Digital Rp10 Miliar: Berapa yang Sampai ke Korban?
Pernahkah Anda membayangkan kekuatan kolektif bisa mengumpulkan Rp10,3 miliar hanya dalam 24 jam? Inilah yang terjadi ketika kreator konten Ferry Irwandi menginisiasi penggalangan dana untuk korban bencana banjir dan longsor di Sumatra. Sebanyak 87.605 orang berpartisipasi, membuktikan bahwa gotong royong digital adalah kekuatan nyata yang luar biasa.
Namun, di balik angka yang membesarkan hati ini, tersimpan beberapa pertanyaan finansial penting yang jarang sekali muncul ke permukaan. Ketika dana publik terkumpul dalam skala masif, aturan mainnya pun berbeda. Ada kewajiban audit oleh akuntan publik. Lalu, siapa yang membayar jasa auditor independen ini? Apakah dananya dipotong dari uang sumbangan Anda, sehingga mengurangi bantuan untuk korban?
Lebih jauh lagi, setiap dari 87.605 transaksi donasi itu kemungkinan besar dikenai biaya administrasi oleh bank atau dompet digital. Jika kita hitung, totalnya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Uang ini tidak sampai ke korban, melainkan ke penyedia layanan pembayaran.
Ini bukan untuk mengecilkan aksi mulia yang ada. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk menjadi donatur yang lebih cerdas dan kritis. Mari kita bedah bersama biaya-biaya tersembunyi di balik narasi kepahlawanan donasi digital.
Fenomena Donasi Influencer: Cerminan Krisis Kepercayaan?
Momentum penggalangan dana Ferry Irwandi menjadi semakin viral setelah Anggota Komisi I DPR, Endipat Wijaya, menyinggungnya dalam rapat kerja bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Endipat membandingkan donasi Rp10 miliar tersebut dengan bantuan negara yang mencapai triliunan rupiah, seraya mengkritik lemahnya komunikasi publik pemerintah sehingga kerja negara “kalah viral”.
Pernyataan ini sontak memicu reaksi keras dari publik. Alih-alih mempertanyakan para donatur, masyarakat justru semakin solid mendukung Ferry Irwandi. Fenomena ini bukan sekadar tentang siapa yang memberi lebih banyak, melainkan tentang kepercayaan.
Mengapa publik begitu cepat menaruh percaya pada figur seperti Ferry Irwandi, Rachel Vennya, atau Praz Teguh? Jawabannya terletak pada tiga hal:
- Kedekatan Emosional: Influencer membangun hubungan parasosial dengan pengikutnya. Ajakan donasi terasa seperti datang dari seorang teman, bukan dari institusi yang kaku dan berjarak.
- Transparansi Real-Time: Mereka sering kali turun langsung ke lapangan, menunjukkan kondisi korban, dan mendokumentasikan penyaluran bantuan melalui video atau live streaming. Ini menciptakan "audit sosial" instan yang mudah dipahami publik.
- Responsivitas: Aksi mereka cepat dan langsung menjawab kebutuhan mendesak di lapangan, kontras dengan birokrasi pemerintah yang terkadang dianggap lambat.
Keberhasilan ini, secara tidak langsung, menyoroti adanya ruang kosong dalam tata kelola kebencanaan yang gagal diisi oleh negara. Publik memilih jalur yang memberikan rasa kepastian dan keterbukaan paling cepat. Namun, kecepatan dan kepercayaan ini juga datang dengan tanggung jawab finansial yang besar dan kompleks.
Aturan Main Donasi Publik: Siapa Mengawasi Uang Kita?
Setiap warga negara, baik perorangan maupun lembaga, pada dasarnya boleh mengumpulkan donasi untuk tujuan sosial. Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menegaskan bahwa untuk situasi darurat bencana, izin bahkan bisa diurus belakangan untuk mempercepat bantuan.
Namun, kebebasan ini diiringi dengan kewajiban akuntabilitas. Aturan mainnya jelas:
"Kalau di atas Rp 500 juta ya harus menggunakan auditor. Harus bekerja sama dengan auditor yang bersertifikat untuk juga bisa melaporkan, dapatnya dari mana saja, diperuntukkan apa saja," kata Gus Ipul.
Untuk donasi di bawah Rp500 juta, cukup dengan audit internal. Namun, untuk dana sebesar Rp10,3 miliar yang dikumpulkan Ferry Irwandi, audit oleh akuntan publik yang independen adalah sebuah kewajiban mutlak. Aturan ini ada untuk melindungi dana publik dari potensi penyalahgunaan dan memastikan setiap rupiah dapat dipertanggungjawabkan.
Di sinilah pertanyaan krusial pertama muncul. Apakah jasa auditor profesional gratis?. Lantas, siapa yang menanggung biayanya?
Misteri Biaya Audit Rp10 Miliar: Diambil dari Donasi atau Kantong Pribadi?
Peraturan memang mewajibkan adanya audit, tetapi tidak merinci dari mana sumber dana untuk membayar jasa auditor tersebut. Hal ini membuka beberapa kemungkinan skenario, masing-masing dengan implikasinya sendiri.
Skenario 1: Biaya Audit Dipotong dari Dana Donasi
Ini adalah praktik yang cukup umum dalam dunia filantropi, di mana biaya operasional (termasuk audit) dianggap sebagai bagian dari pengelolaan dana. Logikanya, audit adalah ongkos untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, sehingga wajar jika diambil dari dana yang dikelola. Namun, konsekuensinya jelas: jumlah bantuan yang diterima oleh korban bencana akan berkurang.
Skenario 2: Biaya Audit Ditanggung oleh Influencer/Penyelenggara
Dalam skenario ini, influencer menggunakan dana pribadi untuk membayar auditor demi memastikan 100% donasi tersalurkan. Ini adalah langkah yang sangat mulia, namun bisa menjadi beban finansial yang signifikan dan berpotensi menghalangi niat baik individu lain yang tidak memiliki kapasitas finansial serupa di masa depan.
Skenario 3: Biaya Audit Ditanggung oleh Platform Crowdfunding
Platform seperti Kitabisa bisa saja memiliki kebijakan untuk menanggung biaya audit sebagai bagian dari layanan mereka, terutama untuk kampanye berskala besar. Namun, ini perlu dikonfirmasi karena model bisnis setiap platform berbeda.
Hingga saat ini, belum ada kejelasan skenario mana yang akan diterapkan untuk donasi Rp10 miliar ini. Kunci utamanya adalah transparansi. Penyelenggara penggalangan dana perlu secara terbuka menginformasikan kepada publik mengenai bagaimana biaya-biaya esensial seperti audit ini akan didanai.
"Pajak Gotong Royong": Biaya Transaksi Ratusan Juta yang Jarang Dibahas
Sekarang, mari kita beralih ke biaya tersembunyi kedua yang sering luput dari perhatian: biaya layanan pembayaran.
Donasi Rp10,3 miliar terkumpul dari 87.605 transaksi. Setiap transaksi digital—baik melalui transfer virtual account, dompet digital, maupun QRIS—dikenai biaya oleh penyedia layanan. Mari kita lakukan perhitungan sederhana:
- Biaya transaksi virtual account bank berkisar antara Rp2.900 hingga Rp3.300.
- Biaya transaksi dompet digital bervariasi, misalnya GoPay 1%, DANA 1,1%, dan QRIS 0,7%.
Jika kita ambil angka konservatif rata-rata biaya transaksi Rp2.500 per donatur, maka total biaya yang "hilang" adalah:
87.605 donatur x Rp2.500 = Rp219.012.500
Angka Rp219 juta ini adalah estimasi kasar. Jumlahnya bisa lebih besar atau lebih kecil, tetapi poinnya tetap sama: ada ratusan juta rupiah yang tidak sampai ke korban bencana, melainkan menjadi pendapatan bagi ekosistem perbankan dan payment gateway.
Penting untuk dicatat, biaya ini bukanlah keuntungan yang diambil oleh platform seperti Kitabisa. Platform tersebut menjelaskan bahwa Biaya Layanan Pembayaran dibebankan oleh mitra penyedia layanan (bank, dompet digital) untuk menutupi biaya operasional mereka, seperti server, notifikasi, dan keamanan transaksi.
Ini adalah "pajak gotong royong" atau biaya infrastruktur dari kemudahan kita berdonasi lewat satu klik. Sebuah trade-off yang perlu kita sadari: kita menukar sedikit efisiensi finansial dengan kecepatan dan jangkauan yang masif.
Menjadi Donatur Cerdas: Bagaimana Seharusnya Kita Bersikap?
Memahami adanya biaya audit dan transaksi bukan berarti kita harus berhenti berdonasi. Justru sebaliknya, ini adalah momentum untuk menjadi donatur yang lebih cerdas dan sadar. Berikut beberapa hal yang bisa kita lakukan:
- Kelola Ekspektasi: Pahami bahwa dalam donasi digital skala besar, hampir tidak mungkin 100% uang Anda sampai ke penerima manfaat. Selalu akan ada porsi kecil untuk biaya operasional yang sah, seperti audit dan administrasi.
- Cari Transparansi: Dukung dan pilih penggalang dana (baik individu maupun lembaga) yang secara proaktif dan transparan melaporkan alokasi dana mereka, termasuk rincian biaya operasional.
- Tanyakan dan Apresiasi: Jangan ragu bertanya kepada penyelenggara mengenai laporan pertanggungjawaban mereka. Apresiasi penyelenggara yang menyediakan laporan audit yang bisa diakses publik.
Kekuatan gotong royong digital di Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Aksi penggalangan dana untuk bencana Sumatra adalah bukti nyata kepedulian masyarakat yang luar biasa. Namun, untuk menjaga momentum dan kepercayaan ini agar berkelanjutan, kita perlu bergerak melampaui narasi heroik semata.
Kita perlu membangun ekosistem filantropi digital yang didasari oleh transparansi radikal. Publik perlu memahami bahwa ada biaya operasional yang sah dalam setiap penggalangan dana, dan penyelenggara wajib menjelaskannya secara terbuka.
Dengan demikian, donasi tidak hanya menjadi ajang unjuk kepedulian sesaat, tetapi menjadi sebuah gerakan sosial yang akuntabel, terpercaya, dan benar-benar efektif dalam membantu mereka yang membutuhkan.
Bagikan artikel ini kepada teman dan keluarga Anda. Semakin banyak orang yang memahami seluk-beluk donasi digital, semakin kuat pula fondasi kepercayaan untuk aksi-aksi kebaikan di masa depan.
Artikel yang serupa
Popular Post
Sosial