Regulasi Digital di Indonesia: Perlindungan Publik atau Kontrol Kekuasaan?

RETORIS.ID staff

Dhanipro

18-09-2025

Regulasi Digital di Indonesia: Perlindungan Publik atau Kontrol Kekuasaan?

Regulasi Digital Komdigi terhadap media sosial

Dalam beberapa tahun terakhir, isu hoaks, penipuan online, dan judi online selalu menjadi bahan kampanye pemerintah untuk memperketat regulasi digital. Argumennya sederhana: masyarakat perlu dilindungi dari bahaya konten negatif.

Baru-baru ini muncul wacana mengenai pembatasan akun media sosial untuk masyarakat.

Namun, di balik narasi yang tampak meyakinkan ini, muncul pertanyaan penting: apakah benar regulasi tersebut semata-mata untuk keamanan publik, ataukah ada agenda yang lebih strategis?

Aktor yang Bermain di Balik Kebijakan

Dalam setiap kebijakan, selalu ada kepentingan yang bekerja. Bila kita telisik, ada empat kelompok utama:

  1. Pemerintah dan Aparat Keamanan
    Kepentingannya jelas: memperkuat kontrol atas ruang digital. Tujuan ini bukan  sekadar memblokir judi online, tetapi memastikan tidak ada aktivitas  masyarakat yang luput dari pantauan. 

  2. Masyarakat
    Posisi  publik seringkali pasif—lebih sebagai objek kebijakan. Sebagian mendukung regulasi karena merasa terlindungi dari penipuan, sebagian khawatir kebebasan berpendapat akan terkikis. Situasi ini mirip dengan fenomena dalam regulasi promo ongkir di mana intervensi negara di ruang digital justru menimbulkan dilema baru bagi konsumen maupun pelaku usaha.

  3. Oposisi dan Aktivis
    Bagi kelompok kritis, anonimitas di ruang digital merupakan salah satu benteng pertahanan. Regulasi  berbasis identitas nyata bisa menjadi ancaman eksistensial bagi mereka.

  4. Platform Teknologi Asing
    Kepentingan mereka adalah akses pasar dan minimalisasi biaya operasional. Mereka akan mematuhi peraturan lokal selama itu masih menguntungkan. Model bisnis mereka sering bergantung pada volume transaksi atau iklan dengan margin keuntungan tipis. Mereka bukan pejuang kebebasan; mereka adalah “pedagang”.

Narasi Publik vs. Agenda Strategis

Di permukaan, narasi yang dibangun terdengar positif: memberantas hoaks, melawan penipuan online, menutup akses judi online. Semua orang sepakat itu masalah nyata.

Tetapi jika dilihat dari pola yang muncul, ada agenda strategis lain:

  • Menghapus anonimitas digital
    Dengan mewajibkan verifikasi identitas melalui NIK atau nomor ponsel, ruang anonim akan hilang. Kritik, satire, atau whistleblowing akan mudah dilacak ke identitas asli.

  • Pemetaan jejaring sosial
    Data digital bisa dipakai untuk memetakan hubungan antarindividu. Siapa  yang berinteraksi, siapa yang berpengaruh, hingga kelompok mana yang  mulai membentuk solidaritas.

  • Efek jera (chilling effect)
    Ketika masyarakat merasa setiap komentar bisa ditelusuri, mereka akan  berpikir dua kali sebelum menyampaikan pendapat. Bukan karena takut  salah, tapi karena takut diawasi.

Siapa Untung, Siapa Rugi?

  • Pemerintah memperoleh kekuatan lebih besar, tidak hanya di ranah fisik tetapi  juga di ranah digital. Jika di jalan raya negara mengatur lalu lintas dengan rambu dan palang pintu, di ruang digital ia hadir  dengan regulasi dan algoritma.

  • Masyarakat justru berisiko kehilangan privasi dan ruang ekspresi. Kebebasan  bersuara bisa terkikis, sementara kemampuan untuk mengorganisir diri menjadi terbatas. Siapa berbicara dengan siapa? Siapa yang mempengaruhi siapa?

Implikasi Jangka Panjang

Jika tren ini berlanjut, masyarakat sipil bisa kehilangan vitalitasnya. Ruang diskusi independen menyempit, dan kritik menjadi aktivitas berisiko. Dalam jangka panjang, yang terbentuk adalah ekosistem digital dengan pengawasan tinggi, mirip model negara lain yang telah lebih dulu membangun kontrol informasi.

Dari Dalih Keamanan Menuju Kontrol Digital

Narasi tentang hoaks dan judi online memang terdengar mulia, tetapi analisis atas pola kebijakan menunjukkan arah yang berbeda: pembangunan infrastruktur pengawasan digital.

Ini bukan tuduhan, melainkan pembacaan tren. Yang jelas, masyarakat perlu lebih kritis: apakah regulasi digital benar-benar melindungi publik, atau justru menciptakan penjara digital transparan di mana setiap warga merasa diawasi?

Artikel yang serupa