Ketika negara membatasi promo ongkir, siapa yang benar-benar diselamatkan? Logistik, e-commerce, atau justru konsumen yang dikorbankan?
Pernyataan Komisi Digital (Komdigi) bahwa "peraturan ini tidak menyentuh ranah promosi gratis ongkir oleh e-commerce" memerlukan kajian lebih mendalam. Sebagaimana disampaikan Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin, pihaknya hanya mengatur "diskon biaya kirim yang diberikan langsung oleh kurir di aplikasi atau loket mereka, yang dibatasi maksimal tiga hari dalam sebulan." Namun, apakah pembatasan ini benar-benar tidak berdampak pada ekosistem digital secara keseluruhan?
Pembatasan promosi ongkir berpotensi menciptakan efek domino yang merugikan berbagai pihak dalam ekosistem e-commerce. Ketika promosi dikurangi, konsumen cenderung mengurangi frekuensi pembelian online, yang pada gilirannya berdampak pada:
Paradoksnya, regulasi yang diklaim untuk melindungi kurir justru berpotensi merugikan kurir itu sendiri. Ketika volume pengiriman menurun akibat berkurangnya transaksi, pendapatan kurir pun akan terdampak negatif.
Ketika pemerintah mulai mengatur "berapa hari promo ongkir boleh dilakukan," ini merupakan bentuk regulasi mikro yang terlalu detail. Dalam praktik bisnis normal, keputusan semacam ini biasanya menjadi wewenang divisi pemasaran perusahaan, bukan diatur oleh regulasi pemerintah.
Idealnya, peran pemerintah adalah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan industri, bukan mengatur detail operasional bisnis. Pemerintah sebaiknya fokus pada hal-hal esensial seperti:
Kebijakan pembatasan promosi ini mengingatkan pada era feodalisme, di mana penguasa menentukan harga pasar dan mengatur jalannya perdagangan. Dalam konteks modern, ini dapat disebut sebagai "feodalisme digital" — ketika kebebasan usaha dibatasi atas nama stabilitas, namun tanpa dukungan konkret yang memudahkan operasional pelaku industri.
Kita hidup di era ekonomi pasar, di mana harga dan strategi pemasaran idealnya ditentukan oleh dinamika permintaan dan penawaran, bukan oleh regulasi yang terlalu mendetail. Ketika negara terlalu jauh masuk ke ranah bisnis, inovasi dan kreativitas pelaku usaha cenderung terhambat.
Alih-alih mengatur detail promosi, pemerintah sebaiknya menciptakan kerangka regulasi yang memastikan persaingan sehat. Biarkan pelaku usaha berinovasi dan berkompetisi secara fair, sementara pemerintah fokus pada:
Pembatasan promosi ongkir berpotensi menghambat pertumbuhan ekosistem digital Indonesia yang sedang berkembang pesat. Ketika konsumen menghilang karena berkurangnya insentif belanja online, seluruh rantai nilai ekonomi digital akan terdampak.
Jika negara terus bermain di wilayah teknis yang seharusnya menjadi ruang bisnis, maka kita akan melihat distorsi pasar yang signifikan:
Pada akhirnya, yang rugi adalah masyarakat sendiri: kurir kehilangan penghasilan, UMKM kehilangan akses pasar, konsumen kehilangan kenyamanan.
Regulasi yang tepat seharusnya menciptakan lapangan bermain yang adil bagi semua pihak, bukan membatasi ruang gerak pelaku usaha secara berlebihan. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan pembatasan promosi ongkir ini dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih komprehensif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital.
Pada akhirnya, kita perlu bertanya: apakah tepat pemerintah mengatur detail operasional bisnis seperti durasi promosi? Atau sebaiknya pemerintah fokus pada hal-hal yang lebih fundamental seperti infrastruktur, edukasi, dan kerangka hukum yang mendukung?
Sebaiknya Komdigi belajar konsep keadilan yang diperintah Tuhan yang ada pada kitab suci, bukan belajar cara mendapatkan keuntungan. Ketika kebijakan dibuat dengan mempertimbangkan keadilan bagi semua pihak, bukan sekadar kalkulasi jangka pendek, maka ekosistem digital akan tumbuh secara sehat dan berkelanjutan.
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar
Ikuti Melalui Email
Dapatkan info terbaru, dikirim ke email Anda