Pernyataan Wakil Presiden bahwa "AI tidak akan menggantikan manusia, tapi manusia yang tidak menggunakan AI akan dikalahkan dengan manusia yang menggunakan AI" terdengar bijak dan visioner. Namun, apakah benar demikian? Pernyataan ini perlu dikaji lebih dalam, terutama dalam konteks realitas yang kita hadapi di tahun 2025.
Slogan yang disampaikan Wakil Presiden terdengar seperti mantra motivasi yang populer di era digital. Namun, pernyataan ini mengandung beberapa kelemahan mendasar.
Pertama, pernyataan tersebut mengasumsikan bahwa "menggunakan AI" adalah pilihan personal yang tersedia untuk semua orang. Kenyataannya, adopsi AI seringkali merupakan keputusan struktural yang diambil oleh pemilik modal dan pembuat kebijakan. Ketika UPS memutuskan untuk mengotomatisasi fasilitas dan memotong 20.000 pekerjaan, para pekerja tidak diberi pilihan "menggunakan AI atau tidak" – mereka hanya menjadi korban dari keputusan korporasi untuk mengganti tenaga manusia dengan mesin.
Kedua, slogan tersebut secara implisit memindahkan tanggung jawab dari sistem kepada individu. Jika Anda kehilangan pekerjaan karena AI, itu bukan karena sistem ekonomi yang tidak adil, melainkan karena Anda "tidak menggunakan AI" – suatu bentuk blaming the victim yang halus namun berbahaya.
Sebagaimana saya ungkapkan dalam artikel sebelumnya, kita telah memasuki era di mana AI bukan lagi faktor pembeda, melainkan standar minimum. Dari startup digital hingga korporasi besar, semua pelaku bisnis kini memiliki akses ke teknologi AI yang relatif sama.
Pernyataan Wakil Presiden gagal mengakui bahwa ketika semua orang menggunakan "senjata" yang sama, maka yang menjadi pembeda bukanlah teknologi itu sendiri, melainkan nilai-nilai manusiawi yang tidak bisa direplikasi oleh mesin: otentisitas, emosi, dan visi personal.
Data dari Business Insider menunjukkan bahwa tahun 2025 menjadi tahun dimana perusahaan-perusahaan besar seperti Meta, UPS, dan Microsoft melakukan PHK massal akibat otomatisasi dan adopsi AI. UPS saja memotong 20.000 pekerjaan seiring dengan otomatisasi fasilitasnya.
Realitas ini bertentangan dengan narasi optimistis yang menyatakan bahwa "AI tidak akan menggantikan manusia." Faktanya, AI memang menggantikan manusia – setidaknya dalam konteks tenaga kerja. Yang terjadi bukanlah kolaborasi harmonis antara manusia dan teknologi, melainkan substitusi sistematis.
Pernyataan Wakil Presiden mencerminkan keluguan yang sama seperti yang saya kritik dalam artikel sebelumnya – yaitu pandangan yang terlalu menyederhanakan peran dan dampak AI dalam ekonomi dan masyarakat.
Ketika pemimpin negara membuat pernyataan yang mengagungkan teknologi tanpa memahami kompleksitas dampaknya, mereka turut menciptakan narasi publik yang tidak realistis dan potensial merugikan. Alih-alih mendorong literasi digital yang kritis, pernyataan seperti ini justru mempromosikan ketergantungan teknologi yang tidak reflektif.
Kita perlu melampaui dikotomi sederhana antara "menggunakan AI" atau "tidak menggunakan AI." Pertanyaan yang lebih mendasar adalah: bagaimana kita membangun sistem ekonomi dan sosial di mana teknologi benar-benar melayani kepentingan masyarakat luas, bukan hanya pemilik modal?
Alih-alih mengatakan "manusia yang tidak menggunakan AI akan dikalahkan," mungkin kita perlu bertanya: sistem seperti apa yang menciptakan kondisi di mana manusia harus "dikalahkan" oleh sesamanya? Bukankah teknologi seharusnya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan menciptakan kelompok pemenang dan pecundang?
Sebagaimana saya sampaikan sebelumnya: "AI mempercepat kapal, tetapi Anda yang menentukan arah layar." Namun, kenyataannya, tidak semua orang memiliki kapal. Tidak semua orang memiliki akses setara terhadap teknologi, pendidikan, dan kesempatan untuk "menentukan arah layar" mereka sendiri.
Tantangan kita sebagai masyarakat bukan sekadar mendorong adopsi AI secara individual, melainkan memastikan bahwa revolusi teknologi ini tidak semakin memperdalam ketimpangan yang sudah ada. Kita memerlukan kebijakan yang lebih inklusif, program pelatihan ulang yang komprehensif, dan jaring pengaman sosial yang kuat untuk mereka yang terdampak oleh perubahan teknologi.
Pernyataan Wakil Presiden mungkin terdengar visioner, tetapi mengabaikan kompleksitas dampak AI terhadap dunia kerja dan masyarakat. Alih-alih terpukau oleh retorika teknologi, kita perlu mengembangkan pemahaman yang lebih nuansa tentang bagaimana teknologi berinteraksi dengan sistem ekonomi, sosial, dan politik.
Yang kita butuhkan bukanlah romantisasi teknologi, melainkan kebijakan konkret yang memastikan bahwa kemajuan teknologi benar-benar membawa kemajuan bagi kemanusiaan secara keseluruhan, bukan hanya bagi segelintir orang yang memiliki akses dan kontrol atas teknologi tersebut.
AI memang tidak akan menggantikan kemanusiaan – tapi ia jelas menggantikan banyak pekerjaan manusia. Mengakui realitas ini adalah langkah pertama untuk memikirkan ulang hubungan kita dengan teknologi yang kita ciptakan.
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar
Ikuti Melalui Email
Dapatkan info terbaru, dikirim ke email Anda