Akuisisi Grab-GoTo menciptakan ancaman kolonialisme data bagi Indonesia. Monopoli digital ini membangun asimetri relasi berbahaya: mereka mengenal kita, kita tidak mengenal mereka, mengancam kedaulatan digital dan keamanan nasional.
Pernyataan ketua umum Poros Jabar Driver tentang kekhawatiran akuisisi Grab-GoTo mencerminkan kegelisahan yang lebih dalam dari sekadar perubahan kepemilikan perusahaan. Bloomberg melaporkan bahwa di balik merger ini terdapat strategi untuk memangkas biaya operasional dan meredam kompetisi di pasar Asia Tenggara—kawasan dengan potensi lebih dari 650 juta pengguna digital. Namun di balik transaksi bisnis ini, tersembunyi implikasi yang jauh lebih kompleks dan potensial berbahaya—terutama menyangkut penguasaan data nasional.
Ketika kita berbicara tentang akuisisi Grab terhadap GoTo, kita tidak sekadar membahas perpindahan aset finansial atau perubahan struktur bisnis. Yang sedang kita bicarakan adalah konsolidasi salah satu aset paling berharga di era informasi: data perilaku konsumen Indonesia.
Setiap hari, aplikasi-aplikasi seperti Grab dan GoTo menghimpun data tentang:
Ketika dua raksasa teknologi ini menyatu, mereka tidak hanya menggabungkan pendapatan, tetapi juga mengkonsolidasikan pengetahuan mendalam tentang perilaku dan kebiasaan masyarakat Indonesia. Ini bukan sekadar agregasi data—ini adalah pemetaan kehidupan sehari-hari seluruh bangsa.
Mungkin bagi sebagian dari kita, notifikasi "Waktunya makan siang?" atau rekomendasi restoran yang sesuai selera terlihat sebagai fitur yang memudahkan. Namun, pernahkah kita berpikir lebih jauh tentang mekanisme di balik "kenyamanan" ini?
Algoritma yang mengirimkan notifikasi "Waktunya makan siang?" bukan sekadar pengingat bersahabat. Ia adalah hasil dari analisis mendalam terhadap kebiasaan harian Anda—kapan Anda biasa makan, di mana lokasi Anda saat itu, dan pola-pola konsumsi Anda sebelumnya. Rekomendasi tempat makan bukanlah kebetulan, melainkan hasil pengolahan data yang masif untuk memprediksi perilaku Anda selanjutnya.
Dampaknya luar biasa: mereka mengenal kita, tetapi kita tidak mengenal mereka. Mereka memahami pola hidup kita, sementara kita bahkan tidak tahu bagaimana algoritma mereka bekerja. Ini adalah ketimpangan informasi yang berbahaya.
Penguasaan data oleh entitas asing bukanlah sekadar masalah persaingan bisnis, tetapi berpotensi menjadi ancaman keamanan nasional. Mari bayangkan skenario yang tidak terlalu jauh dari kenyataan:
Dalam situasi perang proxy seperti yang kita saksikan di berbagai bagian dunia, Indonesia bisa menjadi target empuk jika data perilaku masyarakatnya sudah terpetakan dengan baik oleh entitas asing. Bayangkan pihak yang berseberangan memiliki akses terhadap:
Informasi seperti ini tidak hanya berharga untuk kepentingan komersial, tetapi juga menjadi instrumen yang sangat berbahaya dalam konteks geopolitik. Dalam peperangan modern, data adalah senjata yang lebih mematikan daripada peluru.
Sebagaimana saya ungkapkan dalam tulisan sebelumnya, kita perlu mengkritisi narasi teknologi yang terlalu menyederhanakan dampak teknologi terhadap masyarakat. Akuisisi Grab-GoTo bukan sekadar transaksi bisnis biasa—ini adalah pertaruhan atas kedaulatan digital Indonesia.
Ketika GoTo, sebagai perusahaan karya anak bangsa, diakuisisi oleh entitas asing, yang terjadi bukan hanya perpindahan kepemilikan saham, melainkan juga perpindahan kendali atas infrastruktur digital yang menjadi urat nadi ekonomi dan mobilitas masyarakat Indonesia. Ini adalah bentuk pelepasan kedaulatan digital yang perlu disikapi dengan serius.
Alih-alih terpesona oleh janji efisiensi dan kenyamanan, Indonesia perlu mengembangkan pendekatan yang lebih kritis dan strategis terhadap data nasional. Beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan:
Kita tidak bisa lagi bersikap naif dalam memandang peran teknologi. Akuisisi Grab-GoTo mungkin terlihat sebagai perkembangan bisnis biasa di permukaan, tetapi di level yang lebih dalam, ini adalah pertarungan atas masa depan kedaulatan digital Indonesia.
Sebagaimana data telah menjadi minyak baru di era digital, monopoli atas data adalah bentuk kolonialisme baru yang tidak kalah berbahayanya dengan penjajahan klasik. Bedanya, kolonialisme data berlangsung tanpa tentara, tanpa meriam, dan bahkan tanpa disadari oleh mereka yang dijajah—karena berlangsung di balik kenyamanan aplikasi yang kita gunakan sehari-hari.
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar
Ikuti Melalui Email
Dapatkan info terbaru, dikirim ke email Anda