Mengulas perkembangan AI di Indonesia tahun 2025 dan paradoks yang terjadi: saat teknologi AI menjadi standar minimum, diferensiasi bisnis justru kembali pada unsur manusiawi seperti otentisitas, emosi, dan visi personal yang tidak bisa digantikan oleh kecerdasan buatan.
Tahukah Anda bahwa Tahun 2025 menjadi tonggak penting bagi perkembangan AI di Indonesia. Berdasarkan data dari Universitas Stanford, penggunaan teknologi AI di Indonesia meningkat pesat pada tahun 2025. Dari startup digital hingga korporasi besar, AI digunakan untuk menyusun strategi, mengoptimalkan konten, menulis email, bahkan membuat keputusan bisnis.
Namun, pertanyaannya: apakah AI layak dijadikan alat utama (primary weapon) dalam membangun dan mengembangkan bisnis? Jika semua pemain di industri menggunakan AI, maka pertarungan bisnis menjadi semacam “perang alat”, bukan lagi pertarungan nilai dan visi. Kita sedang memasuki era baru: di mana AI bukan lagi keunggulan, melainkan keharusan minimum.
Dulu, memiliki akses ke teknologi mutakhir seperti AI bisa menjadi kekuatan pembeda. Hari ini, akses itu sudah massal. Generatif AI, seperti ChatGPT, Claude, atau Gemini, tersedia gratis atau murah, bisa diakses siapa saja dengan koneksi internet.
Artinya: jika semua orang menggunakan senjata yang sama, maka senjata itu bukan lagi pembeda. Yang menjadi pembeda justru adalah cara seseorang menggunakan senjata itu—dan di sinilah unsur manusiawi, khususnya emosi, memainkan peran yang sangat krusial.
Dalam artikel Search Engine Journal, Jono Alderson menyoroti fenomena yang mulai terasa nyata: konten yang dihasilkan oleh AI seringkali dianggap “tidak bernyawa.” Bukan karena isinya salah atau datanya keliru, tetapi karena tidak ada sesuatu yang membuatnya terasa manusiawi.
Tulisan-tulisan AI terlalu sempurna secara struktur—terlalu rapi, terlalu netral, terlalu generik, walaupun secara teknis hampir semua provider Generative AI mendukung fine tuning yang dapat menjadikan tulisan memiliki gaya yang konstan. Tidak ada emosi, tidak ada keresahan, tidak ada nada pribadi yang bisa mengikat pembaca secara batin
Saya merasakannya juga. Banyak artikel dan materi komunikasi yang kini “terlihat profesional” karena disusun oleh AI, tapi justru kehilangan sisi paling penting: kepribadian. Saat AI digunakan untuk menyusun email, proposal, atau bahkan pitch presentasi, semuanya menjadi seragam dan steril. Yang terjadi kemudian adalah anomali dalam komunikasi: ketika klien akhirnya bertemu langsung dengan pengirimnya, mereka mendapati bahwa bahasa tubuh dan cara berpikir si pembuat konten tidak mencerminkan gaya komunikasi yang mereka terima selama ini. Ada jarak yang tak kasat mata, tapi terasa nyata.
Inilah paradoks komunikasi era AI: menciptakan kemasan yang profesional namun tidak otentik. Seiring waktu, ini menciptakan kesenjangan antara komunikasi digital (yang dihasilkan mesin) dan komunikasi nyata (yang bersifat emosional dan kontekstual). Klien mulai bertanya-tanya: apakah relasi ini sungguh-sungguh atau hanya dibentuk oleh algoritma?
Alderson menyarankan agar merek dan profesional kembali ke hal-hal yang membedakan manusia dari mesin—keberanian untuk bersuara dengan cara yang khas, menyampaikan nilai-nilai secara eksplisit, dan menunjukkan sisi emosional yang otentik. Karena di tengah banjir konten AI, diferensiasi bukan lagi soal kecepatan atau efisiensi, melainkan soal keaslian.
Banyak orang kini tergoda untuk bertanya ke AI, “Ide bisnis apa yang bagus di tahun ini?” atau “Strategi konten seperti apa yang sedang tren?”. Ini adalah bentuk keluguan baru dalam era digital. Karena Anda bukan satu-satunya yang bertanya hal itu. Ribuan orang lain juga bertanya hal yang sama. Maka, begitu Anda mengeksekusi ide dari AI tanpa filter personal, Anda hanya menjadi salinan dari ratusan salinan lain.
AI seharusnya digunakan bukan untuk bertanya “apa yang harus saya lakukan?”, tetapi untuk membantu mewujudkan “apa yang saya ingin capai.” Ia bukan sumber inspirasi, melainkan alat eksekusi. Visi bisnis tetap harus datang dari pemilik bisnis itu sendiri.
AI bukan musuh. AI adalah alat yang luar biasa jika digunakan dengan benar. Tapi menjadikan AI sebagai pusat dari strategi bisnis adalah bentuk keluguan yang bisa menghancurkan identitas merek, hubungan emosional dengan pelanggan, dan kepercayaan jangka panjang.
Strategi terbaik hari ini adalah mengintegrasikan kecepatan dan efisiensi AI dengan keaslian dan kehangatan manusia. Gunakan AI untuk mempercepat proses, menyusun ulang data, atau menyaring informasi. Tapi untuk menyentuh hati orang lain, untuk membangun kepercayaan, dan menciptakan koneksi yang bermakna—hanya manusia yang bisa melakukannya.
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar
Ikuti Melalui Email
Dapatkan info terbaru, dikirim ke email Anda