Investigasi GoTo Telkomsel: Misteri Aset Rp118 T & Dugaan Korupsi
![]()
Di satu sisi, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) melaporkan kabar gembira: kinerja operasionalnya terus membaik, bahkan mencatatkan EBITDA yang disesuaikan positif selama empat kuartal berturut-turut. Namun, di sisi lain, sebuah badai hukum membayangi perusahaan. Kejaksaan Agung tengah menjalankan investigasi GoTo Telkomsel terkait dugaan "transaksi terafiliasi" dan potensi kerugian negara. Mengapa metrik bisnis yang sehat berjalan beriringan dengan skandal hukum dan anjloknya kepercayaan pasar? Ini bukan sekadar cerita korporasi, ini adalah kisah tentang uang negara, nasib jutaan investor publik, dan misteri aset tak berwujud senilai Rp118 triliun yang menuntut jawaban.
Paradoks GOTO: EBITDA Positif, Saham Anjlok 80 Persen
Mari kita lihat angkanya . Pada kuartal III/2025, GOTO berhasil membukukan Adjusted EBITDA Grup sebesar Rp516 miliar , sebuah lonjakan 239% dari tahun sebelumnya. Total nilai transaksi (GTV) juga tumbuh 28% menjadi Rp176 triliun. Secara teori, ini adalah sinyal bahwa mesin bisnis GOTO mulai berjalan efisien.
Namun, pasar modal seolah menceritakan kisah yang sama sekali berbeda. Sejak penawaran umum perdana (IPO) dengan harga Rp338 per saham, nilai saham GOTO terperosok tajam. Pada 7 November 2025, harganya hanya Rp61 per saham —sebuah kehancuran nilai yang membuat saham GOTO anjlok 80 persen lebih.
Diskoneksi fundamental ini menimbulkan pertanyaan besar. Jika operasional membaik, mengapa investor justru melarikan diri? Jawabannya mungkin tidak terletak pada laporan laba rugi, melainkan pada isu tata kelola dan risiko hukum yang jauh lebih serius.
Titik Terang Investigasi Kejaksaan Agung: Apa Itu "Transaksi Terafiliasi"?
Pusat dari badai ini adalah penyelidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung GoTo . Fokusnya adalah investasi senilai total Rp6,4 triliun yang digelontorkan oleh Telkomsel, anak usaha BUMN Telkom, ke GOTO sebelum perusahaan itu melantai di bursa.
Kejaksaan menduga adanya dua hal krusial:
- "Transaksi Terafiliasi" : Ini adalah istilah untuk kesepakatan yang tidak dilakukan secara wajar dan independen ( arm's length ). Sederhananya, ada kemungkinan kesepakatan ini lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu di dalam, bukan murni untuk kepentingan bisnis Telkomsel.
- "Kekuasaan Besar" : Laporan media mengindikasikan adanya dugaan bahwa keputusan investasi ini didorong oleh pengaruh non-komersial atau tekanan dari pihak-pihak berkuasa.
Jika dugaan ini terbukti, maka investasi Telkomsel di GOTO bukan lagi sekadar keputusan bisnis yang buruk, melainkan berpotensi menjadi kasus kerugian negara Telkomsel . Kini, nilai investasi yang tadinya Rp6,4 triliun itu tinggal kurang dari seperempatnya, sebuah pil pahit bagi BUMN dan pada akhirnya, bagi negara.
Misteri Aset Tak Berwujud Rp118 Triliun: Goodwill atau Sekadar Angka?
Di tengah hiruk pikuk skandal IPO GoTo , muncul satu anomali akuntansi yang mencengangkan. Total aset GOTO dilaporkan membengkak dari sekitar Rp30 triliun menjadi Rp148 triliun. Dari mana datangnya tambahan Rp118 triliun tersebut? Jawabannya adalah dari pos aset tak berwujud, atau yang biasa disebut goodwill .
Goodwill biasanya mencerminkan nilai premium dari sebuah akuisisi di atas nilai aset fisiknya, seperti nilai merek, data pengguna, atau sinergi bisnis. Dalam kasus GOTO, ini kemungkinan besar berasal dari merger antara Gojek dan Tokopedia.
Namun, apakah valuasi sebesar itu realistis? Terutama ketika nilai pasar perusahaan justru hancur lebur? Lonjakan aset tak berwujud yang fantastis ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membuat neraca keuangan terlihat kokoh. Di sisi lain, jika tidak didasari oleh valuasi yang kuat, ia bisa dianggap sebagai cara untuk "mempercantik" laporan keuangan tanpa mencerminkan nilai produktif yang nyata. Kurangnya transparansi mengenai metodologi valuasi ini menjadi bendera merah bagi para analis.
Dampak Sistemik: Dari Investor Publik hingga Kedaulatan Data
Masalah ini jauh melampaui kerugian Telkomsel. Jutaan investor publik yang menaruh harapan pada GOTO saat IPO kini harus menghadapi kenyataan bahwa investasi GoTo rugi besar. Bursa saham yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi berisiko menjadi kasino yang merugikan masyarakat awam.
Lebih jauh lagi, di tengah ketidakpastian ini, muncul wacana merger antara GOTO dengan rival utamanya, Grab . Meskipun langkah ini mungkin terlihat logis untuk meredam kompetisi dan "bakar uang", ia membawa ancaman baru. Seperti yang pernah ditulis Dhanipro sebelumnya, penggabungan dua raksasa data ini berpotensi menciptakan monopoli digital dan “kolonialisme data”. Data perilaku jutaan masyarakat Indonesia akan terkonsolidasi di bawah satu entitas yang berpotensi dikendalikan oleh asing, sebuah pertaruhan atas kedaulatan digital bangsa.
Menuntut Transparansi di Tengah Ketidakpastian
Kisah GOTO adalah persimpangan antara inovasi teknologi, ambisi korporasi, dan tata kelola yang dipertanyakan. Perbaikan operasional yang mereka capai patut diapresiasi, namun itu tidak bisa menutupi bayang-bayang masalah hukum dan anomali keuangan yang serius.
Sebagai investor, publik, dan pengawas, langkah selanjutnya adalah menuntut transparansi penuh. Manajemen GOTO harus memberikan penjelasan rinci mengenai:
- Status dan keterlibatan perusahaan dalam investigasi Kejaksaan Agung.
- Metodologi di balik valuasi aset tak berwujud senilai Rp118 triliun.
Di sisi lain, regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kejaksaan Agung memegang peran vital untuk mengusut tuntas kasus ini secara transparan. Hanya dengan kejelasan dan penegakan hukum yang tegas, kepercayaan terhadap pasar modal dan BUMN dapat dipulihkan. Nasib GOTO, dan jutaan pihak yang bergantung padanya, kini berada di ujung tanduk.
Artikel yang serupa
Popular Post
Sosial