5 Pelajaran Bisnis Proyek Whoosh yang Bisa Hancurkan Anda
![]()
Image kredit: Tempo.com
Pernahkah Anda melihat sebuah proyek yang begitu ambisius, begitu megah, hingga semua orang terpesona? Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) adalah contoh sempurna. Dibingkai sebagai "kebanggaan nasional" dan simbol kemajuan, proyek ini menjanjikan masa depan transportasi modern. Namun, di balik fasad gemerlapnya, tersimpan pelajaran bisnis yang sangat mahal—pelajaran yang bisa menghancurkan perusahaan Anda jika tidak dipahami.
Ini bukan sekadar analisis proyek gagal Indonesia; ini adalah studi kasus skala triliunan rupiah tentang bagaimana ego, optimisme buta, dan tata kelola yang buruk dapat menciptakan bencana finansial. Lupakan sejenak statusnya sebagai proyek negara. Anggaplah Whoosh sebagai sebuah startup raksasa yang didanai utang.
Jadi, apa saja pelajaran bisnis proyek Whoosh yang harus Anda catat agar tidak mengulangi kesalahan yang sama? Mari kita bedah satu per satu.
1. Mengabaikan Uji Kelayakan (Feasibility Study) yang Objektif
Setiap ide bisnis yang brilian harus diuji dengan data yang brutal dan jujur. Inilah dosa asal proyek Whoosh. Jauh sebelum peletakan batu pertama, para ahli sudah memberikan peringatan keras. Ekonom Faisal Basri (almarhum) bahkan sejak 2021 menyebut proyek ini "tidak visibel secara bisnis, balik modal bisa sampai kiamat."
Prediksinya bukan tanpa dasar. Dengan asumsi okupansi 50%, ia menghitung proyek ini baru akan balik modal dalam 139 tahun. Mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan juga dilaporkan menilai proyek ini tidak layak, namun peringatannya diabaikan.
Pelajaran untuk Anda:
Jangan pernah jatuh cinta pada ide Anda sendiri hingga mengabaikan data. Uji kelayakan atau feasibility study bukanlah formalitas, melainkan fondasi bisnis Anda. Jika angka-angka di atas kertas sudah tidak masuk akal, memaksakannya di dunia nyata hanya akan mempercepat kebangkrutan. Ini adalah kesalahan uji kelayakan pengusaha yang paling mendasar.
2. Terjebak Utang Berbunga Tinggi Demi "Gengsi"
Arus kas adalah napas perusahaan. Utang yang salah bisa mencekik napas itu hingga mati. Awalnya, proyek ini ditawarkan ke Jepang dengan bunga pinjaman sangat rendah, hanya 0,1%. Namun, entah karena alasan apa, kesepakatan beralih ke Tiongkok dengan bunga awal 2% yang kemudian membengkak menjadi 3,4% akibat cost overrun.
Hasilnya? Beban bunga tahunan saja mencapai US$120 juta atau sekitar Rp1,9 triliun. Ini adalah cicilan bunga, bukan pokok utang. Bayangkan sebuah perusahaan harus menghasilkan laba bersih Rp1,9 triliun setiap tahun hanya untuk membayar bunga pinjaman dari satu proyek. Ini adalah definisi jebakan utang bisnis Tiongkok dalam skala masif.
Pelajaran untuk Anda:
Biaya pendanaan bisa menjadi pembunuh senyap. Selalu bandingkan opsi pembiayaan tidak hanya dari nilai pokok, tetapi juga dari total biaya bunga selama tenor pinjaman. Terkadang, penawaran yang terlihat lebih "mudah" di awal justru datang dengan jerat bunga yang akan melumpuhkan keuangan Anda di masa depan.
3. Salah Menghitung Proyeksi Pasar dan Pendapatan
Untuk mencapai titik impas dalam 38 tahun, Whoosh harus mengangkut 31.000 penumpang setiap hari. Realitasnya? Rata-rata penumpang harian di hari kerja hanya berkisar 16.000 hingga 18.000 orang. Bahkan, data BPS menunjukkan jumlah penumpang sempat anjlok 11% pada September 2025.
Kesenjangan antara harapan dan kenyataan ini menunjukkan proyeksi pasar yang terlalu optimistis, atau lebih buruk lagi, direkayasa agar terlihat layak. Ketika proyeksi meleset jauh, maka perhitungan Return on Investment (ROI) menjadi ilusi. Kerugian PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) yang dilaporkan mencapai Rp1 triliun per semester adalah bukti nyata dari kegagalan proyeksi ini.
Pelajaran untuk Anda:
Lakukan riset pasar yang mendalam dan konservatif. Jangan membuat asumsi pendapatan berdasarkan skenario terbaik. Uji model bisnis Anda dengan skenario terburuk. Lebih baik terkejut karena profit lebih tinggi dari perkiraan daripada bangkrut karena pendapatan jauh di bawah target.
4. Membiarkan Biaya Membengkak Tanpa Kontrol (Cost Overrun)
Manajemen risiko yang buruk adalah jalan tol menuju kehancuran. Anggaran awal proyek Whoosh adalah US$6,07 miliar. Namun, biaya tersebut membengkak menjadi US$7,2 miliar—naik lebih dari US$1,1 miliar atau sekitar Rp18 triliun.
Pembengkakan ini diperparah oleh dugaan mark-up yang luar biasa. Mahfud MD mengungkap bahwa biaya pembangunan Whoosh mencapai US$52 juta per kilometer, sementara proyek sejenis di Tiongkok hanya memakan biaya US$17-30 juta per kilometer. Ini adalah tanda bahaya investasi infrastruktur yang paling jelas: biaya yang tidak logis dan tidak transparan.
Pelajaran untuk Anda:
Setiap proyek besar pasti memiliki risiko pembengkakan biaya. Tugas Anda adalah mengidentifikasi, memitigasi, dan mengontrol risiko tersebut sejak awal. Buat anggaran kontingensi yang realistis dan terapkan pengawasan ketat pada setiap pos pengeluaran. Tanpa kontrol, biaya proyek akan menggerogoti modal Anda hingga habis.
5. Mengorbankan "Produk" Inti Demi Menyelamatkan Proyek Gagal
Apa yang Anda lakukan ketika produk baru Anda gagal total dan terus membakar uang? Hal terburuk yang bisa dilakukan adalah mengorbankan produk andalan Anda yang sudah terbukti menguntungkan untuk menopangnya. Inilah yang terjadi pada kereta Argo Parahyangan.
Untuk "memaksa" penumpang beralih ke Whoosh, jumlah perjalanan kereta konvensional yang menjadi favorit masyarakat itu dipangkas drastis dari 14 menjadi hanya 6 perjalanan per hari. Ini adalah langkah putus asa yang menunjukkan kegagalan strategis. Alih-alih membiarkan pasar memilih, mereka justru merusak produk yang sudah ada.
Pelajaran untuk Anda:
Jangan pernah membunuh cash cow Anda untuk memberi makan "hewan peliharaan" yang sakit. Jika sebuah lini bisnis baru terus merugi, lakukan evaluasi objektif. Memaksakannya dengan mengorbankan bisnis inti Anda hanya akan menciptakan dua masalah, bukan menyelesaikan satu.
Intinya: Jangan Ulangi Kesalahan Fatal Proyek Whoosh
Proyek Whoosh adalah cermin besar bagi setiap pengusaha dan pemimpin bisnis. Di baliknya, kita melihat lima kesalahan fatal: mengabaikan data, terjerat utang mahal, proyeksi pasar yang ilusif, biaya tak terkendali, dan kanibalisasi produk inti.
Cara menghindari kerugian investasi besar adalah dengan belajar dari kegagalan orang lain. Gunakan kelima poin di atas sebagai daftar periksa untuk rencana bisnis Anda selanjutnya. Tanyakan pada diri sendiri:
- Apakah saya terlalu optimistis dan mengabaikan data yang tidak sesuai harapan?
- Apakah struktur pembiayaan ini akan menopang atau justru mencekik bisnis saya?
- Seberapa realistis proyeksi pendapatan saya?
- Apa rencana saya jika biaya membengkak 20%?
- Apakah saya mengorbankan bisnis yang sehat demi ambisi yang belum teruji?
Jawaban jujur atas pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi pembeda antara kesuksesan jangka panjang dan kegagalan yang spektakuler.
Artikel yang serupa
Popular Post
Sosial