Biaya Kereta Cepat Whoosh: Proyek Ambisius atau Beban Negara?
![]()
Image kredit: Traveloka
Pernahkah Anda bertanya-tanya, bagaimana proyek yang awalnya digembar-gemborkan "tanpa sepeser pun uang negara" kini justru menjadi beban utang triliunan rupiah setiap tahun? Proyek Kereta Cepat Whoosh Jakarta-Bandung, yang diluncurkan sebagai simbol kemajuan transportasi modern, kini menyisakan jejak finansial yang rumit dan penuh pertanyaan. Janji manis skema business-to-business (B2B) murni kini seolah menguap, digantikan oleh kenyataan pahit suntikan dana APBN dan beban utang jangka panjang.
Artikel ini akan membongkar lapisan-lapisan kompleksitas finansial di balik proyek Whoosh. Mulai dari pembengkakan biaya yang tak terkendali, dugaan mark-up yang mengejutkan, hingga siapa sebenarnya yang menanggung kerugian ini. Jika Anda peduli ke mana uang pajak digunakan, maka ini adalah analisis yang tidak boleh Anda lewatkan.
Dari Proyek B2B Menjadi Beban APBN: Bagaimana Ini Terjadi?
Pada awalnya, narasi yang dibangun pemerintah sangat jelas: proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tidak akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Proyek ini dirancang dengan skema B2B antara konsorsium BUMN Indonesia dan mitra dari Cina. Biaya awal yang ditetapkan adalah US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86 triliun.
Namun, janji tinggal janji. Realitas di lapangan menunjukkan cerita yang berbeda. Proyek ini mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) yang signifikan, mencapai US$ 1,21 miliar. Akibatnya, total biaya proyek melonjak menjadi lebih dari US$ 7,2 miliar atau setara Rp 119 triliun.
Pembengkakan inilah yang menjadi titik balik. Konsorsium BUMN yang terlibat, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), tidak mampu menanggung seluruh beban tambahan tersebut. Walhasil, pemerintah akhirnya turun tangan dengan menyuntikkan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang bersumber dari APBN untuk menambal kekurangan tersebut. Janji "tanpa APBN" pun resmi gugur.
Mengapa Biaya Proyek Whoosh Membengkak Begitu Drastis?
Secara resmi, beberapa faktor teknis disebut sebagai penyebab pembengkakan biaya, seperti kesulitan dalam pembebasan lahan yang kompleks karena melewati 9 kabupaten/kota padat penduduk. Selain itu, kondisi geologis yang menantang juga disebut turut menaikkan biaya konstruksi.
Namun, banyak pengamat menilai masalahnya lebih dalam dari sekadar urusan teknis. Herry Gunawan dari Datanesia Institute menyoroti tata kelola proyek yang tidak baik, terutama dalam manajemen risiko, sebagai biang keladi utama. Kurangnya perencanaan matang dan antisipasi risiko sejak awal membuat proyek ini rentan terhadap lonjakan biaya yang tak terduga.
Pertanyaannya, apakah hanya itu ceritanya? Atau ada sesuatu yang lebih serius di baliknya?
Dugaan Mark-Up: 3 Kali Lebih Mahal dari Proyek Serupa?
Kecurigaan publik semakin menguat ketika perbandingan biaya proyek Whoosh dengan proyek sejenis di negara lain muncul ke permukaan. Salah satu perbandingan paling tajam adalah dengan Haramain High Speed Railway di Arab Saudi.
Mari kita bedah angkanya:
- Kereta Cepat Whoosh: Membentang sepanjang 142 km dengan total biaya lebih dari US$ 7,2 miliar. Artinya, biaya per kilometer mencapai lebih dari US$ 51 juta.
- Haramain High Speed Railway: Membentang sepanjang 450 km dengan biaya sekitar US$ 7 miliar. Biaya per kilometernya hanya sekitar US$ 15,5 juta.
Dengan kata lain, biaya pembangunan Whoosh per kilometer hampir 3,3 kali lebih mahal dibandingkan proyek serupa di Arab Saudi yang medannya juga tidak mudah.
Kecurigaan ini bukan tanpa dasar. Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, secara terbuka menyebut adanya dugaan mark-up dalam proyek ini, di mana biaya per kilometer di Indonesia jauh lebih tinggi dari perhitungan standar di Cina sekalipun. Dugaan ini memunculkan pertanyaan krusial: ke mana selisih dana fantastis tersebut mengalir?
Siapa yang Sebenarnya Menanggung Kerugian Kereta Cepat Whoosh?
Di atas kertas, PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) adalah operatornya. Namun, beban finansial terbesar justru menimpa BUMN yang menjadi tulang punggung konsorsium. PT Wijaya Karya (WIKA), salah satu anggota konsorsium, secara terbuka "teriak" bahwa proyek ini menjadi salah satu penyebab utama kerugian dramatis yang mereka alami.
Beban terberat dipikul oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai pemimpin konsorsium PSBI. Sebagai pemegang saham mayoritas, KAI harus menanggung porsi kerugian terbesar. Pada semester I 2025 saja, kerugian bersih PSBI yang diatribusikan ke KAI mencapai Rp 951,48 miliar.
Pada akhirnya, ketika BUMN merugi, negara seringkali hadir sebagai "penyelamat" melalui suntikan PMN. Ini adalah siklus yang terus berulang: risiko proyek dialihkan ke BUMN, BUMN merugi, lalu APBN digunakan untuk menambal kerugian tersebut. Artinya, beban ini secara tidak langsung ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia.
Transparansi Utang: Pertanyaan Kunci yang Belum Terjawab
Sekitar 75% dari total biaya proyek Whoosh didanai oleh pinjaman dari China Development Bank (CDB). Namun, detail lengkap mengenai perjanjian utang ini tidak pernah dibuka secara transparan kepada publik. Apa saja jaminannya? Bagaimana klausulnya jika terjadi gagal bayar? Semua ini masih menjadi misteri.
Kurangnya transparansi ini sangat berisiko. Tanpa mengetahui isi perjanjian, kita tidak bisa mengukur secara pasti seberapa besar potensi beban yang akan ditanggung negara di masa depan. Ini adalah "bom waktu" finansial yang bisa meledak kapan saja.
Kesimpulan: Saatnya Menuntut Akuntabilitas dan Transparansi Penuh
Proyek Kereta Cepat Whoosh adalah pelajaran mahal tentang bagaimana sebuah proyek infrastruktur yang ambisius bisa berbalik menjadi beban finansial jika tidak dikelola dengan tata kelola yang baik, transparan, dan akuntabel. Dari janji "tanpa APBN", kita kini dihadapkan pada realitas utang triliunan dan kerugian BUMN yang harus ditambal dengan uang negara.
Dugaan mark-up yang 3,3 kali lebih mahal dari proyek sejenis menuntut adanya audit investigatif yang menyeluruh dan independen. Publik berhak tahu mengapa biaya proyek ini begitu membengkak dan ke mana saja aliran dananya.
Sebagai warga negara, menuntut transparansi penuh atas perjanjian utang dan akuntabilitas dari para pengambil keputusan bukanlah sebuah pilihan, melainkan keharusan. Sudah saatnya narasi "jangan hitung untung-rugi" diganti dengan "setiap rupiah harus bisa dipertanggungjawabkan."
Artikel yang serupa
Popular Post
Sosial