IHSG Hijau: Mengapa Indeks Naik Saat Mayoritas Saham Turun?

RETORIS.ID staff

Martini Ramadhani

13-12-2025

IHSG Hijau: Mengapa Indeks Naik Saat Mayoritas Saham Turun?

Sekilas, penutupan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Jumat, 12 Desember 2025, tampak seperti kabar baik yang ditunggu-tunggu. Papan perdagangan menunjukkan warna hijau dengan indeks yang berhasil parkir di level 8.660,50, menguat signifikan sebesar 40,02 poin atau 0,46%. Investor ritel mungkin tersenyum melihat angka ini. Namun, jika kita menggali lebih dalam, di balik permukaan yang tenang, ada arus bawah yang mengkhawatirkan.

Pernahkah Anda merasa ada yang tidak beres ketika berita utama merayakan kemenangan, tetapi portofolio Anda justru menunjukkan warna merah? Anda tidak sendirian. Hari perdagangan ini adalah contoh klasik dari fenomena tersebut. Kenaikan IHSG kali ini bukanlah cerminan dari kekuatan pasar yang merata. Sebaliknya, ini adalah sebuah ilusi yang ditopang oleh segelintir saham raksasa, sementara mayoritas saham lainnya justru tertekan.

Artikel ini akan membongkar apa yang sebenarnya terjadi. Kita akan melihat data yang menunjukkan kerapuhan di balik kenaikan indeks, mengidentifikasi "pahlawan" yang menopang pasar, dan menjawab pertanyaan krusial: seberapa besar distorsi yang disebabkan oleh segelintir saham ini, dan apa artinya bagi strategi investasi Anda ke depan?

Sinyal Bahaya Pertama: Ketika Angka Indeks Tak Sejalan dengan Realitas Pasar

Indikator pertama yang paling jelas bahwa ada sesuatu yang tidak sehat adalah market breadth atau luasnya partisipasi pasar. Sederhananya, market breadth mengukur berapa banyak saham yang naik dibandingkan dengan yang turun. Pasar yang sehat idealnya memiliki lebih banyak saham yang menguat daripada yang melemah.

Namun, apa yang terjadi pada 12 Desember 2025?
Data menunjukkan gambaran yang sangat kontras dengan kenaikan IHSG. Sebanyak 377 saham tercatat mengalami penurunan, sementara hanya 275 saham yang berhasil naik. Angka ini menunjukkan bahwa untuk setiap 2 saham yang berhasil menguat, ada sekitar 3 saham yang justru merugi.

Ini adalah sebuah divergensi yang tajam. Kenaikan indeks komposit yang seharusnya mewakili keseluruhan pasar ternyata tidak didukung oleh mayoritas konstituennya. Fenomena ini sering kali menjadi sinyal peringatan dini (early warning sign) bahwa sebuah tren kenaikan tidak memiliki fondasi yang kuat dan berisiko mengalami pembalikan arah secara tiba-tiba.

Kondisi ini semakin dipertegas oleh performa sektoral yang sangat jomplang. Sektor Barang Baku menjadi bintang utama dengan lonjakan luar biasa sebesar 5,58%. Di sisi lain, sektor-sektor penting lainnya justru berdarah-darah, seperti Sektor Teknologi yang anjlok paling dalam sebesar 1,75%. Kenaikan ini jelas tidak merata; ini adalah pertunjukan satu sektor.

Pahlawan Tak Terduga: Siapa Sebenarnya yang Menopang IHSG?

Jika mayoritas saham merugi, lalu siapa yang sebenarnya mengangkat indeks hingga bisa ditutup positif 0,46%? Jawabannya terletak pada lonjakan harga yang luar biasa dari beberapa saham berkapitalisasi pasar besar, terutama di Sektor Barang Baku.

Mari kita lihat para pemain utamanya:

  1. PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS): Saham ini melesat hingga 20% ke level Rp1.185 per saham pada sesi pertama. Kontribusinya terhadap IHSG sangat masif, yaitu menyumbang 24,36 poin dari total kenaikan indeks.
  2. PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN): Tidak kalah impresif, saham AMMN melompat 5,9% ke level Rp6.725 per saham. Kenaikan ini menyumbang 11,93 poin terhadap penguatan IHSG.
  3. PT Indah Kiat Pulp and Paper Corp Tbk (INKP): Saham ini juga menunjukkan kekuatan dengan menguat 5% ke level Rp8.275 per saham.

Aktivitas perdagangan juga terkonsentrasi pada saham-saham tertentu, terutama dari Grup Bakrie. Nilai transaksi untuk saham Bumi Resources (BUMI) mencapai Rp7,56 triliun, diikuti oleh BRMS sebesar Rp5,89 triliun. Besarnya volume dan nilai transaksi ini menunjukkan adanya aktivitas spekulatif yang tinggi, yang turut mendorong harga saham-saham ini secara signifikan dalam waktu singkat.

Analisis Risiko: Pedang Bermata Dua dari Ketergantungan Sektoral

Ketergantungan IHSG pada segelintir saham atau satu sektor adalah sebuah skenario yang berisiko tinggi. Bayangkan sebuah meja yang hanya ditopang oleh satu kaki besar di tengahnya. Meja itu mungkin bisa berdiri, tetapi sangat tidak stabil dan rentan roboh jika kaki penopangnya goyah sedikit saja.

Inilah gambaran IHSG saat ini. Kenaikan yang didorong oleh euforia di sektor komoditas atau barang baku sangat rentan terhadap volatilitas harga komoditas global dan sentimen pasar sesaat. Apa yang akan terjadi jika saham BRMS atau AMMN mengalami aksi ambil untung (profit taking) besar-besaran?

Tanpa adanya dukungan dari sektor lain yang fundamentalnya kuat seperti perbankan, telekomunikasi, atau barang konsumsi primer, IHSG tidak memiliki "bantalan" untuk menahan kejatuhan. Kenaikan yang kita saksikan bukanlah hasil dari perbaikan fundamental ekonomi secara luas, melainkan sebuah lonjakan artifisial yang didorong oleh momentum. Ini adalah sinyal kerapuhan yang tidak boleh diabaikan oleh investor yang cermat.

Seberapa Besar Distorsi dari Saham AMMN dan BRMS? Sebuah Perhitungan

Sekarang, mari kita jawab pertanyaan inti: apakah bobot saham AMMN dan BRMS di IHSG sudah begitu besar sehingga mampu mendistorsi pergerakan indeks? Data memberikan jawaban yang sangat jelas.

  • Total kenaikan IHSG pada 12 Desember 2025: 40,02 poin.
  • Kontribusi poin dari BRMS: 24,36 poin.
  • Kontribusi poin dari AMMN: 11,93 poin.

Jika kita jumlahkan kontribusi dari kedua saham ini, kita mendapatkan total 36,29 poin.

Sekarang, mari kita hitung persentasenya terhadap total kenaikan IHSG:
(36,29 poin / 40,02 poin) x 100% = 90,7%

Angka ini sangat mengejutkan. Lebih dari 90% dari seluruh kenaikan IHSG pada hari itu disumbangkan hanya oleh dua saham. Ini bukan lagi sekadar pengaruh, ini adalah distorsi. Pergerakan IHSG pada hari ini secara efektif tidak lagi mencerminkan kondisi pasar saham Indonesia secara keseluruhan, melainkan hanya merefleksikan pergerakan harga saham BRMS dan AMMN.

Sentimen Global Positif, Namun Pasar Domestik Tetap Waspada

Ironisnya, kondisi pasar domestik yang rapuh ini terjadi di tengah sentimen global yang sebenarnya cukup positif. Bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, baru saja memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin. Kebijakan moneter yang lebih longgar ini biasanya menjadi angin segar bagi pasar negara berkembang seperti Indonesia, karena dapat memicu aliran dana asing masuk.

Bursa saham regional Asia lainnya pun merespons positif, dengan Indeks Nikkei Jepang, Hang Seng Hong Kong, dan Straits Times Singapura kompak menguat. Namun, fakta bahwa IHSG membutuhkan lonjakan ekstrem dari dua saham untuk sekadar bisa ditutup positif menunjukkan adanya masalah internal yang lebih dalam. Sentimen positif global ternyata belum cukup kuat untuk mengangkat pasar secara merata.

Artikel yang serupa