Kalimat retoris bukan sekadar tanya tanpa jawaban. Temukan makna, fungsi, dan kekuatannya dalam film, ruang sidang, dan budaya Indonesia.
Pernahkah Anda mendengar kalimat seperti, “Masa gitu aja nggak bisa?” atau “Siapa sih yang nggak ingin sukses?” Ini bukan sekadar pertanyaan biasa. Kalimat seperti itu disebut kalimat retoris—gaya bahasa yang tidak bertujuan untuk dijawab, tetapi untuk menggugah pikiran, menegaskan, atau menyentil tanpa menghakimi secara langsung.
Namun, kalimat retoris bukan sekadar alat retorika klasik. Di balik kesederhanaannya, gaya ini menyimpan kekuatan psikologis, sosial, bahkan politis yang sering kali diabaikan. Artikel ini membongkar sisi ilmiah dan fungsional dari kalimat retoris—berdasarkan riset akademik—dan mengajak Anda melihatnya dari perspektif yang lebih dalam dan lebih aktual.
Kalimat retoris adalah kalimat tanya yang tidak memerlukan jawaban eksplisit, karena jawabannya sudah diketahui atau disiratkan. Tujuannya bukan mencari informasi, melainkan menyampaikan penegasan, kritik, atau emosi secara halus dan efektif.
Menurut Ferdiansyah (2024), kalimat retoris adalah “pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban dari lawan bicara, melainkan untuk dijawab oleh seseorang itu sendiri.” Ia digunakan dalam debat, pidato, tulisan argumentatif, bahkan dalam percakapan sehari-hari.
Kalimat retoris memiliki ciri-ciri berikut:
Berbentuk pertanyaan, namun jawabannya sudah diketahui oleh pembicara dan pendengar.
Mengandung muatan penegasan atau ajakan berpikir.
Tidak butuh jawaban literal, tapi mendorong refleksi atau respons emosional.
Sering digunakan sebagai bentuk sindiran atau persuasi halus.
Contoh:
“Apakah kita akan terus diam menghadapi ketidakadilan?”
“Siapa yang tidak ingin hidup layak dan damai?”
Kalimat retoris memiliki peran penting dalam komunikasi publik dan personal:
Menegaskan Argumen
Kalimat retoris membantu memperkuat opini tanpa terlihat memaksa. Ini kerap digunakan dalam orasi atau tulisan opini.
Membangkitkan Emosi
Digunakan untuk menyentuh sisi emosional audiens, terutama dalam kampanye sosial atau pidato motivasi.
Mendorong Refleksi
Contoh: “Sudahkah kita bersyukur hari ini?”—pertanyaan semacam ini mengajak pembaca untuk merenung, tanpa menyalahkan.
Menyindir Tanpa Konfrontasi
Dalam budaya yang cenderung tidak konfrontatif seperti Indonesia, sindiran dengan kalimat retoris terasa lebih sopan namun tetap tajam.
Kalimat retoris tak hanya hidup dalam buku pelajaran. Ia berdenyut di medan perang, di ruang sidang, bahkan di layar-layar film yang menyulut emosi jutaan penonton.
Bayangkan adegan epik dalam film perang:
Seorang jenderal berdiri di hadapan pasukan yang jumlahnya kalah jauh dari musuh. Ia berteriak,
“Apakah kalian rela melihat anak-anak kalian diperbudak oleh bangsa penjajah ini?”
Tidak ada yang menjawab. Tapi wajah-wajah yang semula takut, kini menegang. Kalimat itu menggugah mereka—bukan dengan perintah, tapi dengan perasaan yang dalam. Kalimat itu retoris, dan dampaknya jauh lebih kuat daripada seribu komando.
Atau dalam ruang sidang yang sunyi, terdakwa yang terpojok oleh jaksa berdiri untuk menyampaikan pembelaan terakhirnya:
“Apakah satu kesalahan di masa lalu membatalkan seluruh hidup saya yang penuh pengabdian?”
Pertanyaan itu tidak ditujukan untuk dijawab secara lisan. Tapi ia menyelinap ke dalam hati hakim, menggoyahkan logika yang tadinya kokoh. Kalimat itu bukan hanya membela—ia memanusiakan.
Dua contoh di atas menggambarkan satu hal penting: kalimat retoris bukan hanya ornamen bahasa, tapi senjata komunikasi. Ia mampu mengubah keraguan menjadi keberanian, menggugah nurani, dan memutar arah keputusan. Dalam situasi genting, kalimat seperti itu bisa menjadi pemisah antara menyerah dan melawan, antara dihukum dan dimaafkan.
Riset oleh Feng et al. (2023) dalam jurnal PLOS ONE menemukan bahwa kalimat retoris memiliki efek kognitif yang signifikan:
Meningkatkan atensi audiens
Mendorong elaborasi pikiran (deep thinking)
Meningkatkan keterlibatan emosional
Artinya, ketika seseorang mendengar atau membaca kalimat retoris, mereka cenderung “pause”—berhenti, berpikir, dan terlibat lebih dalam. Itulah sebabnya kalimat retoris begitu efektif dalam komunikasi massa.
Dalam ranah digital, kalimat retoris juga digunakan di:
Judul clickbait
Caption media sosial
Video edukasi
Iklan dan kampanye politik
Younus & Kareem (2021) bahkan mencatat bahwa pertanyaan retoris dalam video edukatif untuk anak-anak mampu meningkatkan kesadaran moral terhadap isu penting, seperti pandemi COVID-19.
Indonesia memiliki kecenderungan komunikasi kolektifis dan tidak langsung, di mana sindiran, perumpamaan, dan pertanyaan retoris lebih diterima dibanding argumen frontal. Dalam budaya seperti ini, kalimat retoris menjadi media komunikasi yang halus namun kuat, tajam tapi sopan.
Kalimat retoris bukan sekadar pertanyaan tanpa jawaban. Ia adalah bentuk komunikasi yang menyentuh dimensi kognitif, emosional, dan budaya sekaligus. Ia bisa menggerakkan massa, menyadarkan individu, hingga menggugah nurani hakim di ruang pengadilan.
Pertanyaannya sekarang:
Apakah Anda akan terus mengabaikan kekuatan kata-kata?
Ferdiansyah, M. A. (2024). Tipologi pertanyaan verbal dalam video pembelajaran Pendidikan Profesi Guru (PPG). Universitas Muhammadiyah Malang.
Feng, G. C., Luo, Y., Yu, Z., & Wen, J. (2023). Effects of rhetorical devices on audience responses with online videos: An augmented elaboration likelihood model. PLOS ONE, 18(3), e0282663.
Younus, L. L., & Kareem, N. R. (2021). Agency as Rhetorical Device in the Discourse of Kids Animated Learning Videos on Covid-19 Virus. Arab World English Journal, 12(3), 21–41.
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar
Ikuti Melalui Email
Dapatkan info terbaru, dikirim ke email Anda