Kenapa Startup Sulit Funding? 5 Fakta Mengejutkan Data OJK

RETORIS.ID staff

Martini Ramadhani

18-12-2025

Kenapa Startup Sulit Funding? 5 Fakta Mengejutkan Data OJK


Freepik

Pernahkah Anda melihat situasi di mana pundi-pundi uang semakin gemuk, namun keran investasi justru semakin seret? Inilah paradoks yang sedang melanda industri modal ventura (MV) Indonesia saat ini. Di satu sisi, total aset industri terus bertumbuh, menunjukkan adanya modal yang melimpah. Namun di sisi lain, angka penyaluran pembiayaan ke startup justru menunjukkan tren penurunan.

Ini bukan sekadar fluktuasi angka biasa. Ini adalah sinyal pergeseran tektonik, sebuah perubahan fundamental dalam cara para pemodal memandang risiko, pertumbuhan, dan masa depan inovasi di Indonesia. Fenomena tech winter dan tekanan ekonomi global telah memaksa para pemain untuk berpikir ulang, beralih dari mantra "bakar uang untuk pertumbuhan" menjadi "kejar profitabilitas untuk bertahan hidup".

Bagi para pendiri startup, investor, dan siapa pun yang berkecimpung dalam ekosistem digital, memahami tren tersembunyi di balik data ini bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan. Apa yang sebenarnya terjadi? Ke mana arah aliran "smart money" bergerak?

Mari kita bedah lima anomali dan tren tersembunyi yang akan mendefinisikan lanskap modal ventura Indonesia jelang 2026.

Anomali #1: Divergensi Aset vs. Pembiayaan, Sinyal "Tahan Dana" di Tengah Ketidakpastian

Sekilas, kesehatan industri modal ventura tampak baik-baik saja. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat nilai aset industri per Oktober 2025 mencapai Rp 26,88 triliun, sebuah angka yang menunjukkan pertumbuhan sehat sebesar 3,19% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, jika kita gali lebih dalam, sebuah anomali muncul ke permukaan.

Pada periode yang sama, nilai pembiayaan yang disalurkan justru terkontraksi atau minus 0,12% secara tahunan (YoY), berada di angka Rp 16,3 triliun.

Apa artinya ini? Sederhananya, perusahaan modal ventura (PMV) memiliki lebih banyak uang, tetapi mereka memilih untuk tidak membelanjakannya. Fenomena ini dikenal sebagai capital hoarding atau penumpukan likuiditas. Para investor sedang duduk di atas tumpukan "dry powder"—dana segar yang siap diinvestasikan—namun mereka menahan diri untuk mengeksekusi kesepakatan.

Penyebab utamanya adalah profil risiko pasar yang belum kondusif akibat tech winter yang berkepanjangan. Ketidakpastian ekonomi global membuat investor lebih berhati-hati. Daripada menyuntikkan dana ke startup yang berisiko tinggi, mereka mungkin memilih menempatkan asetnya di instrumen yang lebih aman seperti kas atau surat berharga negara. Ini adalah strategi bertahan, sebuah mode siaga sambil menunggu badai berlalu.

Anomali #2: Mitos Hilirisasi dan Realita Portofolio yang Terkunci di Sektor Perdagangan

Pemerintah dan regulator, termasuk OJK, secara aktif mendorong modal ventura untuk berekspansi ke sektor hilirisasi—industri pengolahan sumber daya alam yang padat modal namun strategis bagi perekonomian nasional. Harapannya, MV dapat menjadi sumber pendanaan alternatif bagi sektor yang belum banyak tersentuh investor konvensional.

Namun, apakah harapan ini sejalan dengan kenyataan di lapangan? Data berbicara sebaliknya.

Data OJK per Oktober 2025 menunjukkan bahwa 46,48% portofolio PMV, atau setara Rp 7,86 triliun, masih terkunci rapat di sektor Perdagangan. Sektor ini, bersama dengan Penyewaan dan Informasi & Komunikasi, mendominasi tiga besar. Sektor manufaktur atau pengolahan bahkan tidak masuk dalam radar utama.

Terjadi sebuah disconnect atau ketimpangan struktural yang masif. Model bisnis modal ventura secara inheren menyukai perusahaan yang asset-light (tidak padat aset) dan memiliki potensi pertumbuhan eksponensial, seperti platform e-commerce atau SaaS (Software-as-a-Service). Di sisi lain, sektor hilirisasi bersifat capital-intensive (padat modal), bertenor panjang, dan memiliki jalur keluar (exit) yang tidak secepat startup teknologi. Tanpa adanya insentif regulasi yang spesifik, narasi hilirisasi di sektor modal ventura berisiko hanya menjadi wacana.

Anomali #3: Bom Waktu Inovasi 2027, Risiko di Balik Fokus pada "Growth Stage"

Untuk bertahan di tengah tech winter, banyak modal ventura mengubah strategi pendanaan mereka. Asosiasi Modal Ventura Indonesia (Amvesindo) mengonfirmasi adanya pergeseran fokus dari startup tahap awal (early stage) ke startup yang sudah berada di tahap pertumbuhan (growth stage) atau bahkan sudah menunjukkan profitabilitas.

Logika di baliknya sangat bisa dipahami: mendanai startup yang sudah memiliki produk teruji, basis pelanggan yang solid, dan jalan yang jelas menuju keuntungan tentu jauh lebih aman. OJK pun mengamini bahwa optimisme pertumbuhan industri di tahun 2026 didasarkan pada peluang mendanai startup yang “sudah profitable”.

Namun, strategi bertahan jangka pendek ini menyimpan sebuah risiko jangka panjang: sebuah "bom waktu" inovasi.

Jika mayoritas investor meninggalkan pendanaan tahap awal (seed stage), siapa yang akan membiayai ide-ide baru yang berpotensi menjadi game-changer di masa depan? Startup yang kita harapkan menjadi unicorn pada tahun 2028 atau 2029 perlu mendapatkan pendanaan tahap awal mereka hari ini. Absennya pendanaan di level ini akan menciptakan kekosongan pasokan (supply crunch) startup matang dalam 3-4 tahun ke depan. Regenerasi ekosistem digital bisa terhambat, dan kita berisiko kehilangan gelombang inovasi berikutnya.

Anomali #4: Transformasi Fintech, Dari Primadona Menjadi "Pelayan" Sektor Perdagangan

Beberapa tahun lalu, financial technology (fintech) adalah primadona yang diperebutkan oleh setiap modal ventura. Kini, situasinya berbalik. OJK menyatakan bahwa minat PMV terhadap fintech menjadi semakin selektif. Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) juga mengakui bahwa tidak banyak lagi modal ventura yang berinvestasi di sektor ini.

Apakah ini berarti era fintech telah berakhir? Tidak juga. Perannya hanya bertransformasi.

Perhatikan korelasi ini: minat pada fintech "murni" menurun, tetapi sektor Perdagangan justru menjadi raja portofolio investasi. Koneksi tidak langsungnya terletak pada konsep Embedded Finance. Fintech tidak lagi menjadi tujuan akhir investasi, melainkan menjadi "utilitas" atau fitur pendukung yang dilekatkan pada sektor lain, terutama perdagangan.

Investasi yang tersisa di ranah fintech kemungkinan besar mengalir ke solusi pembayaran, paylater, atau logistik yang mendukung ekosistem e-commerce dan ritel. Fintech tidak lagi menjadi "disruptor" yang berdiri sendiri, melainkan menjadi "enabler" yang membuat sektor perdagangan berjalan lebih efisien. Inilah mengapa startup fintech yang "menempel" pada ekosistem dagang masih bisa bertahan, sementara yang lain kesulitan mencari dana.

Anomali #5: Kejutan Sektor "Penyewaan", Kembalinya Modal Ventura ke Bisnis Riil?

Jika Anda berpikir modal ventura identik dengan startup teknologi, data terbaru akan mengubah pandangan Anda. Anomali terbesar dan mungkin yang paling jarang dibahas adalah kemunculan sektor "Penyewaan" sebagai runner-up dalam portofolio investasi PMV.

Dengan nilai mencapai Rp 2,17 triliun (12,85%), sektor Penyewaan secara mengejutkan mengalahkan sektor Informasi dan Komunikasi (yang mencakup startup teknologi) yang hanya berada di posisi ketiga dengan 10,68%.

Ini adalah pergeseran narasi yang sangat signifikan. Ini membuktikan bahwa modal ventura di Indonesia tidak lagi semata-mata tentang mendanai "the next big thing" di dunia digital. Mereka sedang "kembali ke khittah" sebagai lembaga pembiayaan yang mencari arus kas stabil dan agunan fisik. Sektor penyewaan—entah itu alat berat, kendaraan, atau properti—menawarkan hal tersebut, sangat kontras dengan aset tak berwujud (intangible assets) milik startup teknologi. Ini adalah bukti paling nyata bahwa era pragmatisme telah tiba, di mana model bisnis konvensional yang terbukti menghasilkan uang kembali dilirik.

Peta Jalan Baru bagi Startup dan Investor di Era Pragmatisme

Kelima tren di atas melukiskan sebuah gambaran yang jelas: industri modal ventura Indonesia sedang memasuki era baru yang didominasi oleh pragmatisme. Euforia pertumbuhan tanpa batas telah digantikan oleh kalkulasi cermat terhadap profitabilitas dan keberlanjutan.

Apa artinya ini bagi Anda?

  • Bagi Pendiri Startup: Metrik "bakar uang" sudah tidak relevan. Fokus utama Anda harus pada product-market fit dan jalur yang jelas menuju profitabilitas. Model bisnis yang berkelanjutan akan jauh lebih menarik bagi investor daripada sekadar cerita pertumbuhan yang fantastis.
  • Bagi Investor: Peluang tidak lagi hanya ada di sektor teknologi. Sektor-sektor yang lebih konvensional dengan arus kas yang stabil, seperti perdagangan dan penyewaan, terbukti menjadi benteng pertahanan di tengah ketidakpastian. Diversifikasi portofolio di luar teknologi murni menjadi kunci.

Lanskap modal ventura memang sedang berubah, tetapi bukan berarti peluang telah hilang. Peluang itu hanya berpindah, menanti untuk ditemukan oleh mereka yang jeli membaca arah angin yang baru.

Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda merasakan pergeseran ini dalam bisnis atau investasi Anda? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar di bawah!

Artikel yang serupa