Investigasi GOTO Memanas: CEO Terancam & Manuver Negara

RETORIS.ID staff

Dhanipro

13-11-2025

Investigasi GOTO Memanas: CEO Terancam & Manuver Negara

Jika pada artikel sebelumnya kita membahas paradoks antara kinerja operasional GOTO yang membaik dengan harga sahamnya yang terjun bebas, kini situasinya telah berevolusi menjadi krisis multidimensi yang jauh lebih serius. Ini bukan lagi sekadar cerita tentang valuasi dan kerugian investor ritel. Ini adalah drama perebutan kekuasaan di tingkat direksi, konfirmasi kerugian triliunan rupiah dari kantong BUMN, dan manuver pemerintah yang menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Mengapa Anda harus peduli? Karena apa yang terjadi pada GOTO kini telah menjadi preseden berbahaya. Kasus ini menguji integritas pasar modal kita, mempertanyakan akuntabilitas BUMN dalam berinvestasi, dan membuka tabir dugaan adanya intervensi kekuasaan yang memanipulasi aturan main demi kepentingan segelintir pihak. Mari kita bedah lapisan-lapisan baru dari skandal yang kian memanas ini.

Saat Investor Institusional & Pendiri Bersatu Melawan CEO

Kepercayaan terhadap manajemen GOTO tampaknya telah mencapai titik terendah. Sejumlah pemegang saham raksasa—termasuk SoftBank Group Corp., Provident Capital Partners, dan Peak XV—dilaporkan secara aktif mendorong pergantian Direktur Utama Patrick Walujo. Upaya ini direncanakan akan dieksekusi melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang dijadwalkan pada 17 Desember 2025.

Pemicunya jelas: kinerja saham yang mengenaskan. Sejak Patrick Walujo mengambil alih kemudi pada 2023, harga saham GOTO terus merosot, anjlok hingga 40-50%. Penurunan ini memperburuk kehancuran nilai sebesar 81,95% jika dihitung sejak penawaran umum perdana (IPO) pada April 2022.

Namun, yang membuat krisis ini luar biasa adalah keterlibatan beberapa pendiri GOTO sendiri dalam gerakan penggulingan. Ini bukan lagi sekadar ketidakpuasan investor eksternal; ini adalah sinyal perpecahan internal yang parah dan krisis legitimasi kepemimpinan yang total. Apakah Patrick Walujo sekadar menjadi "kambing hitam" atas masalah yang sudah mengakar, atau memang kepemimpinannya dianggap sebagai penghalang utama untuk solusi strategis seperti akuisisi oleh Grab?

Angka Tak Bisa Bohong: Kerugian Rp 6,7 Triliun Telkomsel Terkonfirmasi

Dugaan Kejaksaan Agung mengenai investasi BUMN yang tidak hati-hati kini mendapat pembenaran dari angka-angka yang gamblang. Investasi PT Telkomsel di GOTO, yang dilakukan secara bertahap sejak 2020, mencapai total US$450 juta atau setara Rp6,4 triliun.

Apa hasilnya? Sebuah bencana finansial.

Laporan keuangan mengkonfirmasi adanya kerugian yang belum direalisasi (unrealized loss) dari investasi ini yang mencapai Rp6,74 triliun pada tahun 2022—hampir menyapu bersih seluruh modal yang ditanamkan.

Ironisnya, nilai wajar saham GOTO yang dipegang Telkomsel per 30 September 2025 hanya dinilai sebesar Rp54 per saham. Angka ini sangat jauh dari harga IPO di level Rp338 per saham. Fakta bahwa investasi ini dilakukan dalam dua tahap—diawali dengan convertible bond US$150 juta pada 2020, lalu dilanjutkan dengan eksekusi opsi beli US$300 juta pada 2021—menunjukkan adanya kesempatan untuk mengevaluasi ulang, namun tetap dilanjutkan. Keputusan inilah yang kini menjadi pusat penyelidikan Kejaksaan Agung, memperkuat dugaan adanya "intervensi kekuasaan besar" yang mengabaikan prinsip kehati-hatian.

Paradoks Danantara: Negara Menyelidiki, Negara Siap Menyuntik Dana Lagi?

Di tengah penyelidikan Kejaksaan Agung terhadap potensi kerugian negara, sebuah manuver mengejutkan datang dari pemerintah sendiri. Keterlibatan Badan Pengelola Investasi (Danantara) dalam rencana merger GOTO-Grab telah dikonfirmasi secara resmi oleh Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi. Danantara diposisikan untuk mengambil kepemilikan minoritas di entitas gabungan hasil merger tersebut.

Ini menciptakan sebuah paradoks tata kelola yang sangat berbahaya:

  1. Di satu sisi, lengan penegak hukum negara (Kejaksaan Agung) sedang menginvestigasi kerugian BUMN (Telkomsel) di GOTO.
  2. Di sisi lain, lengan investasi negara (Danantara) bersiap menginvestasikan lebih banyak dana publik ke dalam ekosistem yang sama.

Apakah ini sebuah strategi "bailout" terselubung untuk menyelamatkan investasi Telkomsel yang terlanjur karam? Atau sebuah langkah "doubling down"—bertaruh lebih besar pada investasi yang rekam jejaknya sudah terbukti buruk dengan menggunakan dana publik? Apapun alasannya, langkah ini berisiko mengirimkan sinyal bahwa keputusan investasi yang buruk oleh BUMN dapat "diselamatkan" oleh entitas negara lain, sebuah preseden yang merusak prinsip akuntabilitas.

Valuasi Janggal Merger GOTO-Grab: Premium 54% untuk Apa?

Kejanggalan tidak berhenti di situ. Detail valuasi yang dipertimbangkan dalam diskusi merger antara GOTO dan Grab menimbulkan lebih banyak kecurigaan. Grab, dengan kapitalisasi pasar sekitar US$24 miliar, dilaporkan mempertimbangkan untuk mengakuisisi GOTO dengan valuasi lebih dari US$7 miliar.

Salah satu opsi yang beredar adalah pembelian saham GOTO di harga sekitar Rp100 per saham. Pada saat isu ini beredar, harga pasar GOTO berada di kisaran Rp65 per saham. Ini berarti ada premium sebesar 54% di atas harga pasar untuk sebuah perusahaan yang nilainya telah anjlok 82% sejak IPO.

Pertanyaannya, untuk apa premium setinggi itu?

  1. Apakah ini kompensasi untuk "membeli" persetujuan dari regulator dan pemerintah Indonesia?
  2. Apakah ada side deals atau perjanjian sampingan yang menguntungkan investor-investor tertentu?
  3. Ataukah ini bagian dari skema untuk menyediakan jalur keluar (exit strategy) yang "manis" bagi Telkomsel dengan harga di atas pasar?

Valuasi yang tidak wajar ini menuntut pengawasan ketat untuk memastikan tidak ada kepentingan tersembunyi yang merugikan kepentingan publik yang lebih luas.

Di Balik Layar IPO: Temuan Jaksa Ungkap Dugaan Manipulasi Sistematis

Mungkin temuan yang paling fundamental dan mengkhawatirkan datang dari Kejaksaan Agung sendiri. Penyelidikan mereka tidak hanya berfokus pada keputusan investasi Telkomsel, tetapi juga pada proses IPO GOTO.

Jaksa secara spesifik menyoroti adanya perubahan aturan Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui Keputusan Direksi Nomor Kep-00101/BEI/12-2021, yang melonggarkan syarat laba bersih bagi perusahaan teknologi yang ingin melantai di bursa [6]. Perubahan aturan yang terjadi tepat menjelang IPO GOTO ini memperkuat dugaan adanya "intervensi kekuasaan yang besar" untuk memuluskan jalan GOTO ke pasar saham.

Temuan ini mengubah narasi secara drastis. Masalah GOTO mungkin bukan sekadar kegagalan bisnis atau euforia pasar yang berlebihan, melainkan sebuah skema yang berpotensi diatur secara sistematis (potentially orchestrated scheme) yang melibatkan manipulasi regulasi.

Bukan Lagi Soal Bisnis, Ini Ujian Integritas Pasar Modal Indonesia

Kisah GOTO telah melampaui batas-batas sebuah berita korporasi. Ini adalah cerminan dari tantangan tata kelola yang serius di Indonesia. Pemberontakan investor, kerugian BUMN yang masif, intervensi pemerintah yang ambigu, valuasi merger yang janggal, hingga dugaan manipulasi regulasi, semuanya mengerucut pada satu pertanyaan besar: Seberapa kuat perlindungan bagi investor publik dan seberapa akuntabel BUMN serta regulator kita?

Kasus ini menjadi pertaruhan bagi kredibilitas Otoritas Jasa Keuangan (OJK), BEI, dan komitmen pemerintah dalam memberantas konflik kepentingan.

Masa depan GOTO dan kepercayaan terhadap pasar modal Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Pilihan yang diambil dalam beberapa bulan ke depan akan menentukan apakah kita bergerak menuju perbaikan atau justru membiarkan preseden buruk ini mengakar.

Artikel ini merupakan hasil analisis berbasis data publik dan pemberitaan terbuka. Kami tidak melakukan penyidikan hukum, dan seluruh informasi bersifat indikatif.

Artikel yang serupa