Redenominasi Rupiah: Ganti Angka atau Ada Agenda Lain?

RETORIS.ID staff

Martini Ramadhani

11-11-2025

Redenominasi Rupiah: Ganti Angka atau Ada Agenda Lain?

Pemerintah kembali menggulirkan wacana redenominasi rupiah, sebuah rencana ambisius untuk menyederhanakan nominal mata uang kita dengan memangkas tiga angka nol. Targetnya pun tidak main-main: Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah direncanakan selesai pada tahun 2027.

Di permukaan, idenya terdengar logis. Mengubah Rp100.000 menjadi Rp100 tentu akan membuat transaksi dan pencatatan akuntansi terasa lebih efisien. Namun, benarkah sesederhana itu?

Jika kita menggali lebih dalam di balik pengumuman resmi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025, kita akan menemukan serangkaian pola janggal, pertanyaan yang belum terjawab, dan potensi risiko yang jarang sekali dibicarakan di ruang publik. Artikel ini akan membongkar analisis tersembunyi di balik rencana besar ini, karena sebagai warga negara yang cerdas, Anda berhak tahu lebih dari sekadar apa yang tampak di permukaan.

Apa Itu Redenominasi Rupiah? Lebih dari Sekadar Potong Nol

Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita samakan persepsi. Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang dengan mengurangi beberapa angka nol tanpa mengubah nilai tukar atau daya belinya.

Contohnya, secangkir kopi seharga Rp20.000 akan menjadi Rp20. Uang di dompet Anda yang tadinya Rp100.000 akan diganti dengan lembaran baru senilai Rp100. Penting untuk dicatat, nilai kopi dan nilai uang Anda tetap sama. Anda tetap bisa membeli kopi yang sama dengan uang baru tersebut.

Ini sangat berbeda dengan sanering, yaitu pemotongan nilai mata uang yang secara drastis mengurangi daya beli masyarakat. Redenominasi, secara teori, tidak akan membuat Anda lebih miskin atau lebih kaya. Ia hanya mengubah cara kita menulis dan menyebut angka.

Paradoks Target 2027: Antara Ambisi Politik dan Kesiapan Teknis

Salah satu kejanggalan pertama yang muncul adalah target penyelesaian RUU pada 2027. Peraturan Menteri Keuangan yang menjadi landasannya baru ditetapkan pada Oktober 2025 dan diundangkan pada November 2025. Ini menyiratkan adanya dorongan agresif untuk menyelesaikan kerangka hukum hanya dalam waktu dua tahun.

Namun, di sisi lain, narasi yang beredar menyebutkan bahwa pemerintah dan Bank Indonesia (BI) masih "menunggu waktu yang tepat" dan BI sendiri masih dalam tahap “pembahasan internal”.

Jadi, mengapa terburu-buru menetapkan target legislatif jika kesiapan teknis dan momentum ekonominya saja masih dipertanyakan? Ini memunculkan "The 2027 Deadline Paradox": sebuah disonansi antara ambisi di atas kertas dengan realitas di lapangan. Apakah target 2027 ini merupakan sinyal politik menjelang siklus pemilu berikutnya, atau ada urgensi lain yang tidak diungkap ke publik?

Bagaimana Dampak Redenominasi Terhadap Bisnis?

Redenominasi seringkali dibingkai sebagai kebijakan yang akan membawa efisiensi. Namun, efisiensi bagi siapa? Bagi dunia usaha, kebijakan ini justru membuka kotak pandora berisi biaya dan kerumitan operasional yang masif.

Bayangkan dampak redenominasi terhadap bisnis:

  1. Biaya Cetak Ulang: Jutaan label harga, menu, kuitansi, dan materi promosi harus diganti.
  2. Penyesuaian Kontrak: Semua kontrak legal yang mencantumkan nilai rupiah harus diperbarui.
  3. Upgrade Sistem: Perangkat kasir, sistem akuntansi, dan software keuangan harus di-kalibrasi ulang.
  4. Edukasi Massal: Pelatihan karyawan dan sosialisasi kepada pelanggan membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit.

Anehnya, di tengah potensi disrupsi sebesar ini, suara dari asosiasi bisnis besar seperti KADIN, Apindo, atau asosiasi perbankan nyaris tidak terdengar. Keheningan ini sangat mencurigakan. Apakah konsultasi publik belum dilakukan secara mendalam, atau ada resistensi diam-diam yang tidak ingin dipublikasikan?

Krisis Sistem IT Perbankan yang Tersembunyi?

Inilah mungkin pola yang paling mengkhawatirkan. Salah satu argumen pro-redenominasi adalah untuk mengatasi kendala teknis pada sistem IT. Disebutkan bahwa beberapa software akuntansi dan sistem IT perbankan mengalami kendala untuk memproses angka di atas 10 triliun.

Tunggu sebentar. Di era ekonomi digital, klaim bahwa infrastruktur finansial vital kita memiliki "langit-langit" atau batasan angka adalah sebuah red flag besar. Ini bukan sekadar masalah teknis; ini adalah potensi risiko sistemik yang selama ini tersembunyi.

Pertanyaan kritis yang harus dijawab adalah:

  1. Sistem core banking mana yang memiliki limitasi ini?
  2. Apakah ini masalah legacy system yang sudah usang dan belum di-upgrade?
  3. Berapa sebenarnya biaya untuk meng-upgrade sistem IT ini dibandingkan dengan total biaya redenominasi nasional?

Jika klaim ini benar, maka redenominasi bisa jadi hanyalah "plester" untuk menutupi luka infrastruktur digital yang jauh lebih dalam.

Kontradiksi Inflasi dan Jebakan Psikologis Mata Uang

Secara historis, banyak negara melakukan redenominasi karena terpaksa, biasanya akibat hiperinflasi yang membuat nilai mata uang mereka tidak berharga. Turki (2005), Zimbabwe (2008), dan Venezuela (2008) adalah contohnya. Mereka melakukannya karena inflasi sudah tidak terkendali.

Indonesia, di sisi lain, berargumen bahwa redenominasi bertujuan untuk "menjaga nilai rupiah yang stabil" dan mengelola inflasi. Ini sebuah kontradiksi fundamental. Mengapa kita mengambil resep obat untuk penyakit yang (menurut klaim resmi) tidak kita derita?

Di sisi lain, ada argumen bahwa redenominasi akan memberikan keuntungan psikologis. Mengubah kurs Dolar AS dari Rp16.000 menjadi Rp16 akan membuat rupiah "terlihat" lebih kuat dan berwibawa. Namun, ini hanyalah permainan persepsi. Tanpa perbaikan fundamental ekonomi—seperti memperkuat neraca perdagangan atau menekan inflasi riil—ini tak lebih dari sekadar operasi kosmetik pada mata uang.

Mengapa Kita Kembali Bicara Soal Uang Sen?

Di saat transaksi digital melalui e-wallet dan QRIS mendominasi keseharian kita, fokus narasi redenominasi pada pencetakan ulang uang kertas dan koin terasa sedikit usang. Lebih aneh lagi, muncul wacana bahwa redenominasi akan memungkinkan kembalinya uang pecahan sen.

Ini adalah sebuah anomali. Di saat dunia bergerak menuju cashless society, mengapa kita justru ingin menghidupkan kembali satuan mata uang fisik terkecil yang sudah lama ditinggalkan? Berapa biaya produksi koin sen dibandingkan nilai nominalnya? Langkah ini terasa mundur dan kontradiktif dengan tren efisiensi digital yang sedang kita galakkan.

Kesimpulan: Membaca yang Tersirat dari Rencana Redenominasi

Redenominasi rupiah bukanlah sekadar proyek teknis memotong tiga angka nol. Analisis mendalam menunjukkan bahwa rencana ini dipenuhi dengan paradoks, pertanyaan tak terjawab, dan potensi risiko yang signifikan, mulai dari kesiapan teknis yang meragukan, beban berat bagi dunia usaha, hingga potensi krisis pada infrastruktur IT perbankan.

Sebagai masyarakat, tugas kita adalah melihat melampaui narasi penyederhanaan. Kita perlu bertanya: Apa urgensi sebenarnya di balik target 2027? Siapa yang paling diuntungkan dari kebijakan ini? Dan apakah biaya yang akan kita keluarkan sepadan dengan manfaat yang lebih banyak bersifat psikologis dan simbolis?

Kebijakan ini akan menentukan wajah ekonomi kita di masa depan. Pastikan kita semua memahaminya secara utuh, bukan hanya dari permukaannya saja.

Artikel yang serupa