15%

RETORIS.ID kontributor

Dhanipro

18-Aug-2024

Mengejar Dividen atau Menghindari Penjara? Dilema Besar Eksekutif BUMN

Eksekutif BUMN Indonesia menghadapi dilema antara mengejar dividen dan menghindari risiko hukum. Artikel ini menganalisis paradoks, dampak, dan akar masalah dari situasi kompleks ini.

Pernahkah kita membayangkan berada di posisi seorang eksekutif BUMN yang harus membuat keputusan bisnis bernilai miliaran rupiah, namun dibayangi ketakutan akan kemungkinan dipenjara jika keputusan tersebut berujung kerugian? Secara intuitif, kita mungkin berpikir bahwa para pemimpin perusahaan negara ini memiliki kebebasan penuh dalam menjalankan bisnisnya. Namun, realitasnya jauh lebih kompleks dan paradoksal.

Inilah dilema yang saat ini dihadapi oleh para pemimpin Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia. Mereka berada dalam situasi yang sangat subjektif, di mana keputusan bisnis yang diambil harus mempertimbangkan berbagai faktor yang terkadang bertentangan satu sama lain. Di satu sisi, mereka dituntut untuk menghasilkan dividen yang signifikan bagi negara, namun di sisi lain, mereka juga harus berhati-hati agar tidak terjerat kasus hukum akibat keputusan bisnis yang diambil.

Fakta Mengejutkan: Dividen vs Kriminalisasi

  1. Target Dividen BUMN 2024
    • 20 BUMN ditargetkan menyumbang dividen sebesar Rp 88,5 triliun
    • Total setoran dividen BUMN ke kas negara mencapai Rp 85,5 triliun
    • Kenaikan 4,19% dari dividen BUMN pada 2023 yang mencapai Rp 82,06 triliun
  2. Kasus Kriminalisasi Keputusan Bisnis
    • Kasus mantan Dirut PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan
    • Didakwa dalam kasus dugaan korupsi pengadaan gas alam cair (LNG)
    • Kerugian negara yang dituduhkan sebesar Rp 2,1 triliun

Dilema Eksekutif BUMN: Antara Inovasi dan Ketakutan

Pakar hukum Hikmahanto Juwana mengungkapkan bahwa eksekutif BUMN saat ini menghadapi dilema besar dalam mengambil keputusan bisnis. Mereka dihadapkan pada dua pilihan sulit yang menciptakan paradoks dalam pengelolaan BUMN:

  1. Menjadi "risk taker" dan berinovasi
    • Mengambil keputusan berisiko untuk mendorong pertumbuhan perusahaan
    • Berpotensi menghasilkan dividen besar bagi negara
    • Namun, berisiko dikriminalisasi jika terjadi kerugian
  2. Menjadi "risk averter" dan bermain aman
    • Menghindari keputusan berisiko untuk menjaga keamanan pribadi
    • Berpotensi menghasilkan kinerja perusahaan yang stagnan
    • BUMN sulit mencetak dividen signifikan dan melakukan inovasi

Akibat dari dilema ini, banyak eksekutif BUMN yang cenderung memilih untuk "bermain aman" dan menghindari risiko. Hikmahanto menyatakan, "Jadi, dia (direksi BUMN) datar-datar saja, tak mau ambil risiko. Direksi ini bukannya (menjadi) risk taker, tapi risk averter. Dia menghindari risiko."

Dampak Kriminalisasi Keputusan Bisnis

Kriminalisasi keputusan bisnis di BUMN membawa dampak negatif yang signifikan. Secara objektif, kita dapat melihat beberapa konsekuensi yang timbul:

  1. Penurunan Inovasi dan Ekspansi
    • BUMN kesulitan melakukan terobosan dan ekspansi bisnis
    • Eksekutif takut mengambil keputusan strategis yang berisiko
  2. Penurunan Kinerja Finansial
    • Sulit mencetak dividen yang signifikan bagi negara
    • Potensi pertumbuhan ekonomi terhambat
  3. Ketakutan dalam Pengambilan Keputusan
    • Eksekutif BUMN menjadi ragu-ragu dalam membuat keputusan penting
    • Proses pengambilan keputusan menjadi lebih lama dan kurang efisien
  4. Hilangnya Talenta Terbaik
    • Profesional berkualitas enggan bergabung dengan BUMN
    • Takut terjerat kasus hukum akibat keputusan bisnis

Pandangan Para Ahli

Beberapa ahli telah menyuarakan pendapat mereka terkait isu ini, mencoba memberikan perspektif yang lebih objektif:

  1. Hikmahanto Juwana (Pakar Hukum)
    "Direksi itu bukan peramal, dia tidak tahu kalau sudah dilakukan berbagai simulasi, bahkan profesional-profesional dilibatkan, (kemudian) dia ambil keputusan, tapi tiba-tiba perang, atau tiba-tiba harga rupiah melonjak, atau misalnya terjadi COVID. Dia tak bisa meramal."
  2. Feri Wibisono (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara)
    "Keputusan itu dibuat dalam kewenangan, dilakukan tanpa ada benturan kepentingan dan sungguh-sungguh untuk kepentingan terbaik dari perseroan. Jadi, kalau kerugian itu timbul dan memenuhi business judgement rule, itu adalah kerugian kerugian bisnis. Tidak memiliki risiko hukum bagi yang bersangkutan."
  3. Faisal Basri (Ekonom Senior)
    "Terlepas dari (kasus) Karen, pokoknya sekarang direksi Pertamina tidak mau ambil risiko, takut (mengalami) seperti yang dialami Karen, ini fakta. Lihat saja sekarang lifting minyak tinggal 606.000 barel per hari."

Akar Masalah: Sistem yang Rapuh dan Ketidakpastian Hukum

Ketika kita menelaah lebih dalam permasalahan yang dihadapi eksekutif BUMN, kita menemukan beberapa faktor mendasar yang berkontribusi pada dilema ini:

  1. Inkonsistensi Penerapan Hukum
    • Interpretasi hukum yang subjektif dan berubah-ubah
    • Ketidakjelasan antara keputusan bisnis dan tindak pidana
  2. Tekanan Politik yang Berlebihan
    • BUMN sering menjadi alat politik pemerintah
    • Target kinerja yang tidak realistis demi kepentingan jangka pendek
  3. Lemahnya Sistem Checks and Balances
    • Pengawasan internal yang tidak efektif
    • Kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan strategis
  4. Budaya Organisasi yang Toxic
    • Mentalitas "bermain aman" yang mengakar
    • Resistensi terhadap perubahan dan inovasi
  5. Keterbatasan Kompetensi Manajemen Risiko
    • Kurangnya pemahaman mendalam tentang manajemen risiko modern
    • Ketergantungan berlebihan pada pendekatan konservatif

Paradoks yang dihadapi eksekutif BUMN tidak muncul begitu saja, melainkan hasil dari sistem yang telah lama bermasalah. Hikmahanto Juwana menyoroti hal ini dengan menyatakan, "Direksi itu bukan peramal." Pernyataan ini menggarisbawahi ketidakadilan dalam menuntut eksekutif untuk bertanggung jawab atas faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka.

Faisal Basri, seorang ekonom senior, memberikan contoh konkret dampak dari situasi ini. Ia menunjukkan bahwa "sekarang direksi Pertamina tidak mau ambil risiko, takut (mengalami) seperti yang dialami Karen." Akibatnya, produksi minyak (lifting) menurun drastis hingga hanya mencapai 606.000 barel per hari.

Kesimpulan

Dilema antara mengejar dividen atau menghindari penjara merupakan tantangan besar yang dihadapi eksekutif BUMN saat ini. Secara objektif, kita dapat melihat bahwa situasi ini menciptakan paradoks dalam pengelolaan BUMN yang dapat menghambat pertumbuhan dan inovasi. Namun, secara subjektif, kita juga perlu memahami kekhawatiran para eksekutif yang berusaha melindungi diri mereka dari risiko hukum.

Kita perlu mencari keseimbangan antara mendorong inovasi dan pertumbuhan bisnis dengan menjaga integritas dan kepatuhan hukum. Dengan perbaikan sistem hukum, peningkatan tata kelola perusahaan, dan dukungan yang tepat, kita dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi BUMN untuk berkembang tanpa harus mengorbankan keamanan hukum para eksekutifnya.

Langkah-langkah perbaikan ini tidak hanya akan menguntungkan BUMN dan eksekutifnya, tetapi juga akan berdampak positif pada perekonomian nasional secara keseluruhan. Dengan BUMN yang lebih kuat dan inovatif, kontribusi mereka terhadap pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat akan semakin meningkat.

Dalam menghadapi tantangan ini, kita perlu mengandalkan intuisi bisnis yang kuat, didukung oleh analisis objektif dan kerangka hukum yang jelas. Hanya dengan demikian, kita dapat memecahkan paradoks antara kebutuhan untuk mengambil risiko bisnis dan kewajiban untuk melindungi kepentingan negara.

Topik :
Similar Posts

Komentar (0)

Tinggalkan Komentar

Ikuti Melalui Email

Dapatkan info terbaru, dikirim ke email Anda