Dana Bantuan Banjir Sumatera: Cukupkah Atasi Tragedi?

RETORIS.ID staff

Dhanipro

05-12-2025

Dana Bantuan Banjir Sumatera: Cukupkah Atasi Tragedi?

Credit: Dok. Humas Polres Sibolga/Nanda Batubara

Di artikel sebelumnya, kita telah mengupas tuntas bagaimana bencana di Sumatera bukanlah sekadar amukan alam, melainkan sebuah bom waktu ekologis yang dipicu oleh kerusakan lingkungan sistemik. Kini, saat duka masih menyelimuti dan ribuan nyawa hilang, sorotan beralih ke aspek krusial berikutnya: respons pemerintah, khususnya soal uang. Pemerintah mengklaim memiliki dana ratusan miliar rupiah dan sanggup menangani krisis ini sendiri. Namun, di hadapan lebih dari 3 juta warga terdampak dan 770 korban jiwa yang terus bertambah, sebuah pertanyaan fundamental muncul: apakah dana bantuan banjir Sumatera yang digelontorkan cukup untuk menyembuhkan luka, atau hanya menjadi angka penenang di atas kertas?

Ketika infrastruktur lumpuh dan harga beras di lokasi bencana meroket hingga Rp 250.000 per 10 kilogram, setiap rupiah dan setiap detik menjadi pertaruhan nyawa. Mari kita bedah lebih dalam, apakah klaim kesiapan finansial ini sejalan dengan realitas pahit di lapangan.

Membedah Angka: Alokasi Dana Pemerintah di Tengah Krisis

Pemerintah pusat dengan sigap menampilkan postur siaga. Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menegaskan bahwa negara memiliki "amunisi" finansial yang cukup. Sumber utama yang disebut adalah Dana Siap Pakai (DSP) dari APBN yang dialokasikan untuk kesiapsiagaan bencana, dengan angka sekitar Rp 500 miliar. Angka ini, per 3 Desember 2025, ditegaskan masih utuh di kisaran tersebut.

Presiden Prabowo Subianto bahkan telah memberi lampu hijau untuk menambah anggaran DSP jika diperlukan, sebuah instruksi yang berlaku bagi kementerian dan lembaga terkait. Di luar dana kontingensi tersebut, kementerian teknis juga bergerak. Kementerian Sosial (Kemensos) tercatat telah menggelontorkan bantuan senilai total Rp 19 miliar. Bantuan ini terbagi menjadi dua komponen utama:

  1. Logistik Bufferstock: Senilai kurang lebih Rp 14,6 miliar untuk tiga provinsi terdampak.
  2. Bahan Natura Dapur Umum: Sebesar Rp 4,5 miliar untuk memastikan puluhan ribu porsi makanan tersaji setiap hari bagi para pengungsi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Selain itu, pemerintah juga menyiapkan santunan bagi korban, dengan rincian Rp 15 juta untuk korban meninggal dunia dan Rp 5 juta bagi korban luka. Di atas kertas, angka-angka ini terlihat signifikan. Namun, apakah benar demikian?

Skala Bencana vs. Dana Tersedia: Sebuah Kalkulasi Realistis

Mari kita letakkan angka-angka tersebut dalam konteks yang sesungguhnya. Bencana ini telah menyapu sedikitnya 50 kabupaten/kota. Data per awal Desember 2025 mencatat dampak yang mengerikan:

  1. Korban Jiwa: 770 orang meninggal dunia.
  2. Korban Hilang: 475 orang masih belum ditemukan.
  3. Warga Terdampak: Lebih dari 3 juta jiwa.
  4. Pengungsi: Di Aceh saja, jumlahnya mencapai 449.600 jiwa.
  5. Kerusakan Infrastruktur: Lebih dari 9.000 rumah rusak (berat, sedang, ringan), 322 fasilitas pendidikan hancur, dan 277 jembatan terputus.

Dengan DSP sebesar Rp 500 miliar, jika kita bagi rata untuk 3 juta warga terdampak, setiap orang hanya akan menerima sekitar Rp 166.000. Tentu, perhitungannya tidak sesederhana itu, namun ini memberikan gambaran betapa jomplangnya dana yang tersedia dengan skala kebutuhan. Angka tersebut bahkan belum menghitung biaya rekonstruksi ribuan rumah, sekolah, dan jembatan yang nilainya bisa mencapai triliunan rupiah.

Melihat data ini, klaim bahwa pemerintah "sanggup mengatasi seluruh permasalahan" terdengar lebih seperti optimisme politis ketimbang asesmen realistis.

Bantuan Internasional Ditolak, Proyek Bank Dunia Tersendat

Di tengah situasi genting ini, pemerintah secara tegas menyatakan belum membuka pintu untuk bantuan internasional. Sebuah sikap yang menunjukkan kepercayaan diri tinggi. Namun, ironisnya, proyek pengendalian banjir yang didanai lembaga internasional justru berjalan lambat karena masalah internal.

Contohnya adalah program National Urban Flood Resilience Project (NUFReP) dari Bank Dunia di Medan, dengan alokasi dana mencapai Rp 1,5 triliun. Proyek vital ini tersendat. Dua paket normalisasi sungai utama, yaitu Sungai Deli dan Sungai Babura, terpaksa dikeluarkan dari program karena biaya pembebasan lahan yang membengkak hingga Rp 1,3 triliun untuk masing-masing sungai. Sebuah angka fantastis yang menunjukkan betapa rumitnya eksekusi proyek mitigasi bencana di level daerah, bahkan ketika dana dari luar sudah tersedia.

Sikap ini memunculkan dilema: di satu sisi menolak bantuan asing, di sisi lain proyek mitigasi yang didanai asing pun terhambat oleh masalah domestik.

Birokrasi Bantuan: Prosedur Rumit yang Mengancam Nyawa?

Masalah tidak berhenti pada jumlah dana. Bagaimana dana dan logistik itu sampai ke tangan korban adalah persoalan lain yang tak kalah pelik. Prosedur baru penyaluran Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) kini dianggap terlalu birokratis dan berpotensi memperlambat bantuan.

Bayangkan, kepala daerah harus mengajukan surat permohonan resmi ke Kepala Bapanas, lengkap dengan data penerima, surat kesanggupan biaya distribusi, hingga penetapan status darurat. Setelah itu, Bapanas akan menganalisis sebelum akhirnya menugaskan Bulog atau BUMN Pangan lain. Jika menugaskan BUMN lain, Bapanas bahkan perlu persetujuan RUPS atau Menteri BUMN.

Prosedur ini sangat kontras dengan penanganan bencana besar di masa lalu. Saat tsunami Aceh 2004, permintaan penyaluran beras darurat cukup ditulis di atas kardus mi instan karena situasi darurat tidak memungkinkan proses administrasi normal. Fleksibilitas ini menyelamatkan nyawa. Kini, di tengah lumpuhnya komunikasi dan akses, apakah prosedur berlapis seperti ini adalah pilihan yang bijak? Keterlambatan logistik akibat infrastruktur rusak yang diperparah oleh birokrasi kaku adalah kombinasi mematikan.

Transparansi Dana dan Reformasi Prosedur

Alokasi dana bantuan banjir Sumatera memang telah digelontorkan. Namun, analisis kritis menunjukkan adanya kesenjangan besar antara dana yang ada, skala kebutuhan di lapangan, dan efisiensi penyalurannya. Angka Rp 500 miliar terasa kecil di hadapan tragedi yang merenggut 770 nyawa dan melumpuhkan kehidupan jutaan orang.

Pemerintah perlu melampaui sekadar klaim dan angka. Langkah yang paling mendesak saat ini adalah:

  1. Transparansi Penuh: Publik berhak tahu secara detail bagaimana setiap rupiah dari dana bencana dialokasikan dan dibelanjakan.
  2. Penyederhanaan Prosedur: Belajar dari pengalaman tsunami Aceh, prosedur darurat harus memprioritaskan kecepatan dan fleksibilitas, bukan kekakuan administratif. Nyawa tidak bisa menunggu birokrasi.

Pada akhirnya, keberhasilan penanganan bencana tidak diukur dari besarnya dana yang diumumkan di media, tetapi dari seberapa cepat dan tepat bantuan itu tiba di tangan seorang ibu yang kelaparan di tenda pengungsian. Sudah saatnya kita menuntut akuntabilitas yang lebih dari sekadar angka.

Artikel yang serupa