Runtuhnya Investree: Ketika “Fintech Star” Menjadi Warning Sign Industri

RETORIS.ID staff

Martini Ramadhani

02-10-2025

Runtuhnya Investree: Ketika “Fintech Star” Menjadi Warning Sign Industri

Disclaimer: Semua data dan pendapat dalam artikel ini berdasarkan informasi publik hingga 1 Oktober 2025. Analisis bersifat independen dan bisa beradaptasi jika muncul fakta baru.

Beberapa tahun lalu, nama Investree disebut-sebut sebagai “poster child fintech lending Indonesia” — inovator yang menjembatani jutaan UMKM dengan dana digital, merangkul investor ritel, dan menjanjikan inklusi keuangan sebagai misi sosial sekaligus bisnis. Namun, peristiwa penangkapan mantan CEO-nya, Adrian Gunadi, dan pengungkapan dugaan penggunaan SPV ilegal senilai Rp 2,7 triliun, menunjukkan bahwa kisah “startup fintech menang untuk semua” rupanya menyimpan sisi gelap yang selama ini tertutup.

Kegagalan Investree bukan hanya kegagalan satu entitas, melainkan duka kolektif bagi ekosistem fintech Indonesia — sebuah peringatan bahwa fondasi fintech yang dibangun terlalu miring terhadap pertumbuhan agresif dan kurang memperhatikan tata kelola serta manajemen risiko.

Menyatukan Lapis-Konsep: Makro, Industri, Mikro

  1. Tekanan Makro yang Membuka Luka
    Indonesia pada periode pergantian Menteri Keuangan menghadapi sentimen negatif yang kuat. Dalam satu hari, asing mencatat net sell senilai Rp 4,55 triliun, dan nilai tukar Rupiah melemah cukup signifikan. Di tengah krisis kepercayaan ini, pasar tak sabar terhadap skandal korporasi besar — apalagi di sektor teknologi finansial.
  2. Fintech Lending: Dari Euforia ke Kerentanan
    Pertumbuhan P2P lending begitu cepat. Banyak platform mengejar ekspansi pengguna dan volume pinjaman, kadang mengabaikan underwriting yang konservatif. Model “growth at all costs” menjadi norma tak tertulis. Pencabutan izin Investree oleh OJK (Oktober 2024) adalah sinyal nyata bahwa batas toleransi regulator sudah terlewati.
  3. Investree dalam Sorotan Mikro
    Dalam pengumuman resminya, OJK menyebut pelanggaran modal minimum dan kinerja yang menurun sebagai masalah mendasar. Namun di balik itu, penangkapan Adrian Gunadi satu tahun kemudian membuka tabir: dugaan manipulasi via SPV ilegal, estimasi klaim lender mencapai Rp 3 triliun, dan korupsi model struktural — bukan hanya kesalahan manajemen biasa.

IMPACT Matrix: Efek Multi-Dimensi Runtuhnya Investree

Dimenis Efek Utama
 Institutional (I) Ujian kredibilitas OJK, peran penegak hukum lintas negara
Market (M) Sentimen investor jatuh, VC makin selektif
People (P) Lender ritel kehilangan dana, UMKM kehilangan akses modal
Arbitrage (A) Peluang distressed debt, akuisisi oleh fintech sehat
Competitive (C) Polarisasi industri, bank digital sebagai pemenang
Technology (T) Fokus beralih ke RegTech & SupTech, integritas jadi kunci

  • I – Institutional:
    OJK dihadapkan pada ekspektasi tinggi: tindakan tegas sudah dilakukan (pencabutan izin, pemblokiran rekening, kerja sama dengan Interpol), namun kritik tetap ada: Bagaimana pengawasan ini gagal mengendus SPV ilegal sejak awal? Regulator perlu memperkuat sistem pengawasan otomatis (SupTech) dan transparansi publik.
  • M – Market Movement:
    Kepercayaan menjadi korban pertama. Investor ritel akan ragu memasuki platform fintech lending lainnya. Venture capital akan lebih menitikberatkan aspek GCG (good corporate governance) dan profitabilitas daripada hanya pertumbuhan volume utang.
  • P – People Effect:
    Lender ritel adalah korban paling nyata — klaim mereka mungkin hanya pulih sebagian. Analoginya seperti kapal megah yang tenggelam, sedangkan sekoci penyelamat (aset likuid) tak mencukupi untuk semua penumpang. Sementara itu, UMKM jujur yang bergantung pada modal dari Investree kini dihambat akses permodalan mereka.
  • A – Arbitrage Opportunities:
    Investor spesialis distressed debt bisa membeli klaim dari lender yang terdesak. Pemain fintech lain (Modalku, KoinWorks, dsb.) yang memiliki GCG baik akan berebut pengambil alihan pasar lender serta borrower yang “mengungsi”.
  • C – Competitive Dynamics:
    Industri akan terpolarisasi: pemain besar teregulasi dengan modal kuat vs pemain kecil yang rentan gulung tikar. Bank digital (seperti Bank Jago, SeaBank) muncul sebagai alternatif aman karena integrasi ke sistem keuangan tradisional yang lebih kredibel.
  • T – Technology Disruption:
    Ironisnya, kegagalan ini bukan karena teknologi yang buruk, melainkan korupsi struktural dan tata kelola lemah. Ke depan, teknologi tidak lagi menjadi solusi utama — melainkan sarana untuk memastikan integritas (RegTech & SupTech) dan monitoring real-time platform.

Proyeksi Waktu: Apa yang Akan Terjadi?

Investor akan mengejar “flight to safety” — menarik dana dari platform yang dianggap bermasalah. OJK memperketat audit, mengevaluasi platform lain, dan memberi sinyal bahwa tidak ada toleransi terhadap pelanggaran.

Proses likuidasi Investree kemungkinan panjang dan lambat. Regulasi baru bakal muncul: persyaratan modal minimum dinaikkan signifikan, audit eksternal berkala ditegaskan, dan kewajiban transparansi meningkat. Beberapa fintech kecil terpaksa keluar atau diakuisisi.

Dari reruntuhan muncul pemain fintech lending yang lebih sehat, disiplin, dan terintegrasi dengan sistem keuangan nasional. Dominasi akan berpindah ke entitas dengan skala besar, tata kelola kuat, dan ekosistem yang robust. Kasus Investree akan menjadi studi klasik di dunia akademis dan lembaga keuangan.

Insight Praktis bagi Para Pemangku Kepentingan

Pihak Rekomendasi
Investor Ritel Diversifikasi aset; jangan taruh sebagian besar portofolio dalam satu platform; analisis fundamental – lihat neraca & struktur modal, bukan UI menarik
Pelaku Fintech / Startup P2P Fokuslah pada profitabilitas berkelanjutan, tata kelola transparan, dan manajemen risiko — tidak cukup hanya mengejar volume pinjaman
Regulator (OJK) Prioritaskan pencegahan: investasi pada SupTech dan teknologi pengawasan, audit real-time, dan transparansi proses pengawasan agar publik percaya

Investree sebagai Canary Kawasan Fintech

Runtuhnya Investree adalah “canary in the coal mine” — alarm bahwa model bisnis fintech lending berbasis pertumbuhan agresif, tanpa pondasi GCG dan pengawasan yang memadai, sangat rentan terhadap guncangan eksternal.

Meskipun korban akan menderita — terutama investor ritel dan UMKM — kasus ini membuka jalan untuk fase pendewasaan sektor fintech Indonesia. Konsolidasi akan memperkuat pemain sehat, ekspektasi investor akan lebih realistis, dan regulasi akan lebih proaktif ketimbang reaktif.

Prediksi keyakinan saya:

  • Konsolidasi & regulasi baru → Tinggi
  • Perubahan sikap investor & VC → Tinggi
  • Pemulihan penuh dana lender → Sangat Rendah

Investor yang bijak akan melihat ke depan: bukan hanya siapa yang jatuh, tetapi siapa yang bangkit — dan bagaimana mereka membangun kembali kepercayaan di atas fondasi yang lebih kokoh.
 

Artikel yang serupa