Karyawan Tiktok Shop dan Shopee terjebak dalam skema relokasi dan restrukturisasi yang menguntungkan perusahaan raksasa.
Industri e-commerce Indonesia tengah dihantam gelombang PHK massal yang dibungkus dalam eufemisme penuh distorsi. TikTok Shop berencana memotong ratusan karyawan pada Juli 2025 dengan dalih "efisiensi pasca akuisisi Tokopedia," sementara Shopee melakukan apa yang mereka sebut sebagai "relokasi operasional" ke Yogyakarta—sebuah kebijakan yang menciptakan dikotomi tajam: ikut pindah ke kota dengan upah lebih rendah, atau memilih berhenti bekerja.
Di balik narasi resmi tentang "optimalisasi" dan "efisiensi" tercium aroma mencurigakan yang menyiratkan adanya pola tertentu untuk memangkas biaya tenaga kerja tanpa perlu menempuh jalan berliku yang diwajibkan regulasi ketika menyangkut pemutusan hubungan kerja massal.
Pasca penggabungan dengan Tokopedia awal 2024, ByteDance memiliki sekitar 5.000 karyawan di Indonesia. Kini tersisa hanya 2.500 orang – setengah dari jumlah awal. PHK gelombang Juli 2025 akan semakin menggerus angka tersebut, dengan target pemangkasan di seluruh divisi: logistik, operasi, pemasaran, dan pergudangan.
Yang mencurigakan, pola PHK TikTok Shop dilakukan bertahap. Tahun lalu 450 karyawan di PHK, kini ratusan lagi akan menyusul. Meski TikTok-Tokopedia belum memberikan konfirmasi eksplisit resmi berapa total karyawan yang di PHK.
Strategi bertahap ini menimbulkan pertanyaan: apakah pemecahan PHK ke dalam beberapa gelombang dilakukan semata demi efisiensi, ataukah ini cara halus untuk menghindari klasifikasi sebagai "PHK massal"? Sebab, ketika PHK dikategorikan massal, perusahaan diwajibkan berkonsultasi dengan serikat pekerja, melibatkan pengadilan hubungan industrial, dan bisa dikenakan beban kompensasi yang lebih besar dari pesangon standar.
Shopee menggunakan taktik yang lebih halus namun tak kalah merugikan. Sejak 2024, perusahaan melakukan dua gelombang "relokasi" ribuan karyawan dari Jakarta ke Yogyakarta dan Solo. Alasan resmi: menciptakan efisiensi operasional.
Lantas, apa motif dibalik taktik ini ? Dengan merelokasi karyawan ke daerah dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang jauh lebih rendah – selisih sekitar Rp 2-2,5 juta per bulan – Shopee berpotensi menghemat Rp 6 miliar per bulan atau Rp 72 miliar per tahun dari ribuan karyawan yang terdampak.
Deputy Director of Public Affairs Shopee, Radynal Nataprawira, membantah adanya PHK massal dan menekankan bahwa ini adalah relokasi sukarela. Karyawan diberi tiga pilihan: pindah ke Jawa Tengah, transfer internal ke departemen lain di Jabodetabek, atau keluar dengan "dukungan di atas peraturan pemerintah."
Namun "pilihan" ini sejatinya adalah pilihan semu. Bagi karyawan dengan keluarga dan komitmen di Jakarta, relokasi ke Yogyakarta bukanlah opsi realistis. Sementara posisi transfer internal sangat terbatas. Akibatnya, mayoritas akan memilih keluar.
Kedua skema yang diterapkan ini disinyalir mengeksploitasi celah dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia, terutama pasca-pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. PHK secara umum, termasuk dalam skala besar, memerlukan prosedur ketat: mulai dari konsultasi melalui perundingan bipartit dengan serikat pekerja atau perwakilan karyawan, pemberitahuan kepada Dinas Ketenagakerjaan, hingga potensi keterlibatan Pengadilan Hubungan Industrial jika tidak tercapai kesepakatan.
Untuk kasus PHK karena efisiensi, khususnya jika perusahaan mengalami kerugian, perusahaan wajib membayar kompensasi dengan ketentuan khusus:
Sebagai ilustrasi perhitungan, menggunakan contoh seorang karyawan dengan masa kerja 8 tahun dan gaji Rp10 juta per bulan yang terkena PHK karena efisiensi akibat kerugian perusahaan:
Penghematan yang fantastis jika dikalikan dengan ribuan karyawan. Bila skenario PHK dilakukan secara "biasa" (misalnya, jika alasan efisiensi tersebut tidak disertai kerugian, atau alasan PHK lainnya yang mewajibkan pembayaran penuh), perusahaan harus membayar pesangon penuh sebesar 1 kali ketentuan pesangon. Dengan ilustrasi yang sama:
Dengan demikian, hanya dengan mengubah narasi dari “PHK biasa” menjadi “efisiensi karena kerugian,” perusahaan berpotensi mengurangi beban kompensasi secara signifikan per orang. Bila angka ini dikalikan ribuan karyawan, potensi penghematan membengkak menjadi puluhan miliar rupiah. Ini menunjukkan bagaimana interpretasi dan penerapan ketentuan hukum ketenagakerjaan dapat berdampak besar pada hak-hak karyawan dan biaya operasional perusahaan.
Timing PHK massal di kedua platform e-commerce terbesar Indonesia ini mencurigakan. TikTok Shop dan Shopee – yang bersaing ketat memperebutkan pasar – melakukan pemangkasan karyawan hampir bersamaan dengan alasan serupa: efisiensi operasional.
Apakah ini koordinasi industri untuk menekan biaya tenaga kerja, ataukah respons serupa terhadap tekanan ekonomi? Yang jelas, pola ini menunjukkan bagaimana perusahaan raksasa dapat memanipulasi regulasi ketenagakerjaan.
Yang paling ironis, pemangkasan massal ini terjadi di tengah pertumbuhan pendapatan. ByteDance melaporkan pendapatan US$155 miliar pada 2024, naik 29% secara tahunan. Lebih dari seperempat pendapatan disumbang bisnis penjualan internasional TikTok Shop.
Sementara Shopee tetap menjadi pemain dominan e-commerce Indonesia dengan jutaan pengguna aktif. Kedua perusahaan jelas tidak dalam kondisi krisis yang membenarkan PHK massal.
Skema PHK terselubung ini menciptakan preseden berbahaya. Jika dibiarkan, perusahaan lain akan meniru strategi serupa: memecah PHK massal menjadi gelombang kecil, menggunakan dalih relokasi untuk memotong gaji, atau menyamarkan restrukturisasi sebagai "pilihan karyawan."
Ribuan keluarga terdampak, daya beli masyarakat menurun, dan kepercayaan terhadap perlindungan tenaga kerja terkikis. Ironisnya, perusahaan yang meraup keuntungan dari konsumen Indonesia justru mengorbankan kesejahteraan pekerja Indonesia
Shopee dan TikTok Shop, sebagai perusahaan yang meraup keuntungan milyaran dari pasar Indonesia, memiliki tanggung jawab moral untuk memperlakukan pekerja Indonesia dengan adil. Bukan sebaliknya – mengeksploitasi celah hukum untuk memangkas biaya tenaga kerja.
Konsumen Indonesia juga perlu menyadari bahwa kemudahan berbelanja online yang mereka nikmati dibangun di atas penderitaan ribuan pekerja yang kehilangan mata pencaharian. Boikot konsumen dapat menjadi tekanan efektif untuk memaksa perusahaan bertanggung jawab.
Pada akhirnya, kasus ini bukan hanya tentang PHK atau relokasi. Ini tentang bagaimana kapitalisme digital menggerus hak-hak pekerja dengan dalih efisiensi, sementara keuntungan terus mengalir ke kantong pemegang saham asing. Saatnya Indonesia melindungi pekerjanya dari eksploitasi perusahaan raksasa yang bernafsu mengeruk keuntungan tanpa batas.
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar
Ikuti Melalui Email
Dapatkan info terbaru, dikirim ke email Anda